Waspada! Integritas Pemilu Kita Terancam – Pemilu seharusnya menjadi pilar utama demokrasi, wadah bagi suara rakyat untuk menentukan arah bangsa. Namun, di Indonesia, integritas pemilu kerap diuji oleh berbagai praktik manipulatif yang mengikis kepercayaan publik dan mencederai esensi demokrasi itu sendiri. Mari kita bedah lebih dalam faktor-faktor yang menjadi penghambat utama, serta implikasinya bagi masa depan politik kita.
Baca juga: Money Politic, Hantu Tak Kasat Mata saat Pemilu
Dua Sisi Mata Uang Manipulasi
Politik uang, yang meliputi pemberian uang tunai, sembako, bantuan pembangunan, atau janji jabatan, telah lama menjadi alat persuasi pemilih yang dinormalisasi dalam budaya politik lokal. Ini bukan hanya diterima, tetapi juga secara nyata memengaruhi preferensi pemilih. Celah hukum dalam kerangka pemilu Indonesia, terutama dalam pemilihan serentak yang kompleks, turut memperkuat praktik ini dan berkontribusi pada wacana oligarki politik.
Selain politik uang, intimidasi pemilih juga muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari tekanan verbal, fisik, hingga kampanye hitam berbasis SARA. Taktik semacam ini, seperti ancaman “konsekuensi politik” dan penyebaran isu etnis atau agama, telah digunakan dalam berbagai pemilihan, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2012–2014, dan terus berlanjut hingga pemilu nasional, meski terkadang dalam bentuk yang lebih tersamar.
Yang lebih mengkhawatirkan, politik uang dan intimidasi kerap digabungkan dalam strategi manipulasi emosional dan struktural. Dalam Pilkada lokal, relasi patron-klien sering dimanfaatkan, di mana pemberian bantuan fisik atau jasa membuat pemilih merasa mendapatkan imbal balik langsung dan meningkatkan ketergantungan terhadap kandidat. Pendekatan campuran ini menciptakan perangkap loyalitas yang sulit dipatahkan, karena pemilih merasa terikat oleh dukungan materi dan ketakutan kehilangan akses sosial atau ekonomi.
Dampak langsungnya adalah, erosi kepercayaan publik terhadap integritas pemilu dan perubahan orientasi partisipasi politik. Ketika pemilih merasa suaranya bisa dibeli atau dipaksa, minat dan motivasi mereka untuk berpartisipasi secara demokratis berkurang. Ini tidak hanya memperburuk partisipasi pemilih, tetapi juga mencederai prinsip pemilu yang bebas dan adil. Jangka panjangnya, praktik ini menciptakan deregulasi moral dalam pemerintahan, menurunkan kualitas kepemimpinan, merajalelakan korupsi, dan membentuk budaya oligarki.
Tiga Batu Sandungan Integritas Pemilu
Integritas pemilu di Indonesia menghadapi tantangan berlapis dari faktor struktural, kultural, dan teknologi:
1. Faktor Struktural: Kapasitas dan Penegakan Hukum yang Lemah
Sistem penyelenggaraan pemilu Indonesia masih memiliki kelemahan kapasitas teknis dan manajerial, terutama pada petugas di tingkat bawah seperti KPPS dan PPK. Mereka umumnya direkrut temporer dan hanya mendapat pelatihan singkat, sehingga pemahaman prosedur teknis masih minim. Meskipun pelatihan tambahan dapat meningkatkan pemahaman, risiko kesalahan atau manipulasi administratif tetap tinggi tanpa peningkatan kapasitas yang sistematis.
Selain itu, distribusi sumber daya yang tidak merata antara perkotaan dan pedesaan menjadi masalah serius. Logistik pemilu di daerah terpencil sering terlambat, formulir resmi kurang, dan jaringan digital tidak stabil, seperti yang terjadi pada Pemilu 2024 di mana logistik harus diangkut dengan kendaraan off-road. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan keterlambatan pelaporan suara, tetapi juga membuka peluang manipulasi di area minim pengawasan.
Yang tak kalah penting adalah, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu. Bawaslu dan aparat penegak hukum sering terbentur kendala teknis, operasional, dan politik, sehingga banyak laporan pelanggaran tidak ditindaklanjuti serius. Ratusan aduan sering berakhir tanpa sanksi hukum, menciptakan persepsi bahwa sistem demokrasi hanya berlaku bagi pelaku kecil, sementara aktor besar kebal. Minimnya sanksi efektif, yang umumnya hanya berupa sanksi administratif ringan, semakin memperparah kondisi ini, menjadikan pelanggaran pemilu sebagai risiko politik yang bisa ditoleransi. Akibatnya, manipulasi suara menjadi bagian dari strategi politik yang terstruktur dan sistemik.
2. Faktor Kultural: Normalisasi Politik Uang dan Patronase
Integritas pemilu juga diuji oleh faktor kultural yang mengakar kuat dalam perilaku politik masyarakat, terutama normalisasi politik uang. Di banyak daerah, pemberian uang atau bantuan lain dianggap “lumrah” atau bahkan sebagai hak pemilih. Ini diperkuat oleh lemahnya kesadaran hukum dan tekanan ekonomi, sehingga praktik transaksional dijustifikasi secara sosial sebagai bentuk mutualisme.
Relasi patron-klien yang kuat di berbagai daerah juga memperlemah integritas pemilu. Kandidat membangun loyalitas elektoral melalui pembagian materi, menjadikan pemilu sebagai arena pertukaran keuntungan pribadi, bukan kontestasi ide atau kebijakan. Akibatnya, partisipasi politik mencerminkan ketergantungan struktural, bukan kebebasan.
Selain itu, tekanan sosial berbasis hierarki lokal juga melemahkan kualitas demokrasi elektoral. Pemilih tidak memilih secara otonom, melainkan mengikuti arahan tokoh adat, kepala desa, atau pemuka agama. Praktik seperti sistem “noken” di Papua, di mana suara komunitas diberikan secara kolektif oleh kepala suku, menunjukkan bagaimana demokrasi prosedural kalah oleh logika kekuasaan dan budaya kolektif yang menekan kebebasan memilih.
Terakhir, budaya apatisme politik yang mengakar akibat kekecewaan masyarakat turut memperparah kondisi. Banyak pemilih merasa suara mereka tidak akan membawa perubahan karena sistem sudah dikendalikan atau dimanipulasi. Ini mengurangi partisipasi pemilih dan melemahkan keterlibatan publik dalam mengawasi pemilu.
3. Faktor Teknologi: Kerentanan Sistem Digital dan Disinformasi
Transformasi digital dalam pemilu, melalui sistem seperti SITUNG dan SIREKAP, seharusnya meningkatkan transparansi dan akurasi. Namun, dalam praktiknya, teknologi ini justru membuka kerentanan baru. Salah satu masalah utama adalah rendahnya literasi digital penyelenggara pemilu di tingkat bawah, yang sering mengakibatkan kesalahan input data, salah unggah dokumen, dan kegagalan sinkronisasi. Pada Pemilu 2019 dan 2024, banyak kesalahan unggah formulir C1 menimbulkan keraguan publik terhadap validitas penghitungan suara.
Masalah lainnya adalah kerentanan sistem digital terhadap gangguan teknis dan manipulasi data. Infrastruktur teknologi pemilu masih belum sepenuhnya andal, terutama di wilayah dengan jaringan internet lemah. Ini menyebabkan penundaan atau kegagalan unggah data, membuka peluang manipulasi oleh pihak yang memiliki akses sistem. Lemahnya sistem verifikasi ganda dalam SIREKAP memungkinkan manipulasi suara tanpa terdeteksi langsung oleh publik. Ketergantungan penuh pada sistem digital juga memperkecil ruang koreksi dari masyarakat, menciptakan kondisi “black box democracy” di mana proses penghitungan suara kurang transparan.
Terlebih lagi, disinformasi yang tersebar melalui media sosial menjadi ancaman serius. Narasi hoaks, tuduhan manipulasi KPU, dan penyebaran hasil rekapitulasi yang dimodifikasi secara digital menciptakan disonansi informasi. Di era post-truth, emosi dan opini lebih mudah membentuk persepsi publik daripada data faktual. Kelompok politik memanfaatkan fenomena ini untuk menggiring opini seolah-olah hasil pemilu “dicuri” secara digital, meski tanpa bukti hukum kuat, yang pada akhirnya meruntuhkan kepercayaan publik terhadap teknologi pemilu.
Krisis Kepercayaan dan Apatisme
Manipulasi suara bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan ancaman langsung terhadap fondasi demokrasi.
Ketika suara direkayasa, hasil pemilu tidak lagi mencerminkan kehendak bebas rakyat, melainkan menjadi representasi kepentingan elite yang memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuasaan untuk merekayasa proses elektoral. Ini menjadikan pemilu instrumen legal untuk mempertahankan status quo atau memperkuat sistem oligarki.
Implikasi lanjutannya adalah krisis kepercayaan terhadap lembaga demokrasi. Ketika publik melihat manipulasi tidak ditindak tegas, kepercayaan terhadap sistem pemilu pun terkikis. Ratusan laporan pelanggaran yang berakhir tanpa sanksi berarti menciptakan persepsi bahwa demokrasi hanya berlaku untuk pelaku kecil, sementara aktor besar kebal. Ini merusak legitimasi pemerintahan dan menurunkan stabilitas politik jangka panjang.
Krisis kepercayaan ini sering berujung pada apatisme politik yang meluas, terutama di kalangan pemuda dan kelompok rentan. Ketika masyarakat merasa suara mereka tidak akan membawa perubahan, mereka cenderung menarik diri dari partisipasi politik. Partisipasi yang seharusnya cerminan keterlibatan aktif, berubah menjadi formalitas belaka, dengan banyak pemilih hadir hanya untuk memenuhi kewajiban administratif, atau bahkan memilih golput dan menjual suara mereka. Apatisme ini mengkonfirmasi gejala budaya politik parokial yang tidak mendukung penguatan demokrasi, dan pada akhirnya, demokrasi kehilangan vitalitasnya.
Menyelamatkan Demokrasi: Pendekatan Holistik Adalah Kunci
Untuk menghadapi fenomena ini, dibutuhkan pendekatan multidisipliner dan holistik. Penegakan hukum harus tegas dan konsisten, tanpa memandang lokasi atau aktor. Simultan, pendidikan politik dan literasi keuangan publik perlu diperluas agar pemilih menyadari bahwa uang segar adalah jebakan jangka pendek, sementara legitimasi politik menyangkut kualitas kehidupan jangka panjang. Sinergi antara negara, lembaga nonpartisan, dan media lokal juga krusial untuk memperkuat kesadaran demokratis dan mencegah pemilu melihat suara rakyat sebagai komoditas.
Reformasi menyeluruh dan multisektoral sangat diperlukan. Ini mencakup penguatan kapasitas SDM penyelenggara pemilu, perbaikan infrastruktur dan sistem keamanan digital, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran elektoral, hingga transformasi budaya politik melalui pendidikan kritis dan literasi demokrasi.
Demokrasi sejati tidak dapat dibangun di atas suara yang dicurangi; ia hanya tumbuh dalam kejujuran, partisipasi, dan kepercayaan. Melawan manipulasi suara bukan hanya tugas penyelenggara pemilu atau lembaga hukum, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa untuk menyelamatkan demokrasi dari kerusakan yang semakin sistemik dan masif. Tanpa strategi seperti itu, pemilu Indonesia akan terus berulang dalam orbit transaksional dan intimidatif, jauh dari cita demokrasi yang bebas dan berintegritas.
(Artikel ilmiah Savira Ardhia Mahasiswi FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, di tulis ulang dalam bentuk artikel populer)
Referensi:
Abdiellah, M. A., Muharram, D. R., & Julianingsi, J. (2022). The impact of money politic in the local elections in Indonesia. Journal of Contemporary Local Politics, 1(1), 1-6. https://doi.org/10.46507/jclp.v1i1.74
Afifah, W. (2014). Tindak Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia. Mimbar Keadilan, 13–28
Al Fatih, Z. A., and Putera, R. A. (2024). Peran Algoritma Media Sosial Dalam Penyebaran Propaganda Politik Digital Menjelang Pemilu. Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan https://doi.org/10.7454/jkskn.v7i1.10090
Amal, I. (2022). Fenomena dan faktor penyebab masifnya praktik politik uang pada pemilu di provinsi banten. Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 14(03), 592-606






