Praktik money politic merupakan salah satu cara yang digunakan oleh beberapa oknum calon eksekutif maupun legislatif untuk mendompleng perolehan suara. Praktik ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat setiap pemilihan umum berlangsung, baik di level Nasional maupun lokal. Bahkan tidak menutup kemungkinan besaran nilai yang digunakan selalu mengalami peningkatan di tiap edisi pemilihan umum di Indonesia.
Berdasarkan survei databoks.com pasca Pemilu Presiden 2024, terdapat 46,9% responden menilai politik uang adalah sesuatu yang dapat diterima. Angka tersebut naik dibandingkan tahun 2019 yang hanya menyentuh angka 32%. Hasil survei ini menunjukkan bahwa politik uang sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi setiap Pemilihan Umum berlangsung. Kendati menjadi rahasia umum, nyatanya praktik ini tidak pernah berhasil dihentikan oleh penganggung jawab pelaksanaan pemilu. Padahal keberadaan praktik politik uang ini tentu saja memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan demokrasi Indonesia di masa depan.
Artikel ini memberikan opini terkait fenomena praktik Money Politics di masyarakt yang seperti hantu. Terjadi sangat jelas dan diakui oleh masyarakat, tapi tidak pernah terdeteksi keberadaannya!
Penasaran? Langsung check this out!
Politik Uang dan Aturannya di Indonesia
Money politik merupakan upaya mempengaruhi seorang voters untuk memilih pilihan yang ditentukan dengan disertai pemberian uang atau imbalan. Perbuatan ini merupakan salah satu praktik suap yang sering terjadi saat proses Pemilihan Umum di tingkat manapun. Oleh karena itu, tak heran aturan demi aturan dirumuskan untuk mencegah terjadinya praktik Money politic di Indonesia.
Adapun aturan mengenai larangan politik uang di Indonesia tertuang di UU No. 10 tahun 2016 dan UU Nomor 7 tahun 2017. Pada pasal 187A ayat 1 UU No. 10 tahun 2016 disebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”
Pasal 187A ayat 1 itu menunjukkan bahwasanya memberikan uang—money politic untuk mempengaruhi pemilih, termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Tak heran hukuman yang diberikan terhadap pelakunya adalah penjara dan denda yang sangat berat. Hukuman ini tidak hanya berlaku untuk pemberi, namun juga dapat dikenakan kepada penerima berdasarkan lanjutan pada ayat 2.
Lebih jauh, aturan money politic di Indonesia juga dijelaskan di dalam Pasal 280 ayat 1 huruf J UU No. 7 tahun 2017. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwasanya pelaksana hingga tim sukses dilarang memberikan atau menjanjikan uang pada pemilih. Artinya di dalam aturan ini dijelaskan secara tegas, bahwa praktik money politic dilarang untuk dilakukan semua elemen. Baik dilakukan sendiri oleh sang peserta, maupun diwakilkan oleh tim suksesnya.
Money Politic dan Kualitas Demokrasi Indonesia
Dikutip dari “Buku Pintar Pemilu dan Demokrasi” KPU kota Bogor, Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana yang ditempuh untuk membentuk pemerintahan. Pembentukan pemerintahan dalam Pemilu dilakukan dengan melibatkan partisipasi warga negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat. Perwujudan kedaulatan rakyat dalam Pemilu merupakan penyokong kuat praktik demokrasi di suatu negara. Oleh karenanya Pemilu dan demokrasi merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bagus tidaknya demokrasi di suatu negara ditentukan oleh adil tidaknya pelaksanaan Pemilihan Umum.
Menurut data BPS tahun 2023, Indeks Demokrasi di Indonesia masuk kategori “sedang” dengan mencapai 79,51 poin. Kendati demikian nilai ini turun dibandingkan indeks demokrasi Indonesia di tahun 2022 yang mencapai angka 80,41 dengan kategori baik. Penurunan indeks demokrasi saat ini menurut hemat penulis disebabkan karena buruknya pelaksanaan Pemilu yang dipengaruhi oleh praktik money politics.
Selain mempengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia, praktik politik uang juga akan menyebabkan mahalnya ongkos politik di Indonesia. Akibatnya pencalonan pemimpin di Indonesia tidak lagi berfokus pada kompetensi, namun berfokus pada modal yang dimiliki sang calon. Alhasil demokrasi dengan makna kedaulatan di tangan rakyat tergantikan oleh oligarki yang akan melakukan bakar uang demi kursi kekuasaan. Pada akhirnya jabatan bukan lagi bertujuan memajukan kesejahteraan, tetapi tempat untuk mengembalikan modal. Maka tak heran dari praktik ini—money politic kemudian melahirkan koruptor-koruptor yang merugikan negara!
Ketika semua hal itu terjadi, maka sesungguh nilai-nilai demokrasi telah dinodai dengan sebab praktik kecurangan yang dinormalisasi tersebut.
Money Politic, Hantu Kasat Mata saat Pemilu
Money Politic sepertinya selalu menjadi “hantu yang bergentayangan” ketika Pemilu. Keberadaannya ada dan disadari oleh banyak pihak, namun tidak ada yang berani mengungkapkannya, takut “pamali”, kan rezeki tidak boleh ditolak! Pemikiran bahwa politik uang adalah rezeki yang tidak boleh ditolak itulah yang membuat praktik ini pada akhirnya menjamur.
Praktik money politic adalah hantu yang selalu tak kasat mata ketika Pemilihan Umum berlangsung. Padahal praktiknya sangat jelas terjadi di masyarakat. Banyak pihak yang mengakui menerima uang saat pemilihan umum dengan nominal yang bervariasi. Dengan banyaknya pengakuan tersebut, nyatanya tidak ada pihak yang mendapat sanksi sebagaimana yang tertuang dalam beberapa aturan terkait politik uang. Pihak-pihak berwenang pun tidak terlihat berhasil membasmi praktik tersebut meskipun terdapat aturan tegas yang melarangnya.
Maka wajar saja praktik politik uang ini disebut sebagai “hantu” karena praktiknya ada, namun seolah-olah tidak terlihat dan terbebas dari hukum. Tak terlihat, namun menakutkan!
Penutup
Sebagaimana hantu pada umumnya, ada beberapa respon yang dapat dilakukan manusia ketika menghadapi makhluk halus tersebut,
Pertama, Mengusir hantu tersebut dengan berani menggunakan dalil-dalil yang kitab suci yang menjadi dasar kepercayaan.
Kedua, Takut dan berdiam diri tak melakukan perlawanan dan menerima saja perbuatan hantu tersebut, pamali!
Ketiga, Berpura-pura cuek dan tidak melihat keberadaan hantu tersebut, karena menilai keberadaannya wajar meskipun sering mengganggu aktivitas.
Keempat, Memanfaatkan hantu tersebut dan ketakukan orang-orang untuk meraih keuntungan. Misalnya menjadi paranormal palsu yang bisa mengusir hantu, padahal makhluk halus tersebut diajak bekerja sama!
Lalu ada di mana posisi kita dalam menghadapi hantu tak kasat mata saat Pemilu tersebut?!
Sampai jumpa di opini selanjutnya!
Sumber Artikel
Buku Pintar Pemilu dan Demokrasi oleh KPU Kota Bogor