News  

Nepotisme dan Dinasti Politik: Ditilik dari Sekelumit Catatan Sejarah

Febri Priyoyudanto (Dosen Bahasa dan Kebudayaan Arab, Universitas Al Azhar Indonesia)

admin
Ilustrasi Nepotisme dan Dinasti Politik (foto: freepik.com)
Ilustrasi Nepotisme dan Dinasti Politik (foto: freepik.com)

Nepotisme dan Dinasti Politik – Kekuasaan adalah candu. Ungkapan itu begitu sering kita dengar dari para pemikir dan pemerhati politik ketika dihadapkan pada sebuah realita penguasa yang bersikap nepotik. Candu kenikmatan pada tiap jabatan dan kekuasaan memang selalu memabukkan. Sehingga banyak sekali para penguasa yang teradiksi dan sulit lepas dari candu kekuasaan tersebut. Sekali berkuasa, akan terus berkuasa. Kalau perlu sampai mati, atau paling tidak bisa diturunkan ke anak cucu serta kerabat.

Sikap nepotik dalam hal kekuasaan terlihat nyata di antaranya melalui praktik political dynasty (dinasti politik). Hal itu bisa dimengerti karena dalam praktik political dynasty, estafet kekuasaan akan terus dijaga dalam ranah lingkaran keluarga dan orang dekat. Praktik ini hampir terjadi di dalam dunia kuasa seluruh dunia. Contoh gamblang di depan mata pada era sekarang tentu bisa dilihat pada dinasti Kim di Korea Utara, atau bahkan di negara-negara Afrika yang jelas-jelas negaranya berbentuk republik.

Baca juga: Money Politic, Hantu Tak Kasat Mata saat Pemilu

***

Di dalam tradisi etik di Indonesia, nepotisme sering digandengkan dengan korupsi dan kolusi. Hal itu dirumuskan secara koheren karena ketiganya melanggar prinsip meritokrasi, yaitu sebuah prinsip yang menjujung tinggi asas kemampuan dan prestasi. Seyogyanya prinsip tersebut yang harus dijunjung setinggi-tingginya dalam hal berorganisasi dan juga bernegara.

Istilah nepotisme pertama kali didengungkan di abad ke 15 untuk menggambarkan prilaku korup yang ekstrim dari para Paus di Roma. Praktik tersebut acap kali terjadi dalam sejarah kepausan dengan menjadikan para kardinal (para pejabat di bawah Paus) untuk memegang posisi penting di luar otoritas keagamaan. Kata nepos sendiri merujuk pada arti ‘kemenakan’ atau ‘cucu’ dan sejumlah kerabat.

Praktik nepotisme dalam sejarah gelap kepausan pernah terjadi di masa Paus Borgia yang menjadikan anaknya yang tak memenuhi syarat asas meritokrasi sebagai seorang Kardinal Italia, walaupun dirinya berasal dari keluarga asli Valencia Spanyol (Montaubin, 2004).

***

Sejarah Paus Rodrigo Borgia atau yang lebih dikenal dengan Paus Aleksander VI merupakan sebuah preseden buruk yang menjadi ingatan kolektif dalam dunia Gereja Katolik hingga saat ini. Pada alur sejarahnya, praktik-praktik hitam duniawi tercatat dengan begitu gamblang dan dilakukan oleh seorang yang notabene merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam strata gereja Katolik Roma. Namun, bertahtanya Paus Borgia pada suksesi kepemimpinan gereja Katolik tidak terjadi serta merta begitu saja. Dia juga lahir dari praktik kotor nepotisme sang Paman yaitu Paus Calixtus III. Paus yang bernama asli Alfonso dari Valencia, yang sengaja mempersiapkan Rodrigo muda masuk ke dalam kekuasaan gereja (De Silva, 2016). Itu sengaja dilakukan untuk menjaga klan Borgia tetap eksis pada lingkaran kekuasaan Gereja katolik Roma. Hingga pada akhirnya tindak-tanduk keluarga Borgia menjadi catatan hitam dalam rajutan sejarah gereja. Masa kepemimpinan Paus Aleksander VI tercatat sebagai kepemimpinan paling korup, amoral, nepotik, dan berdarah dalam ingatan kaum Katolik hingga saat ini.

***

Di dalam sejarah Islam, sejarah mencatat konflik dalam suksesi kepemimpinan yang pernah terjadi antara kubu Sayyidina Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Konflik tersebut tidak hanya memicu terjadinya perang besar Shiffin, namun juga melahirkan kelompok-kelompok yang di kemudian hari saling berseteru yaitu Khawarij dan Syiah (Saliba, 1998). Bahkan para sejarawan Barat menghubungkan konflik tersebut sebagai persaingan yang pernah terjadi di masa lalu antara Bani Hasyim dan Bani Abd Syams. Walaupun pada kenyataannya, konflik kekuasaan tersebut dimenangkan oleh kubu Muawiyah melalui proses tahkim yang kontroversial, tapi para sejarawan mencatat bahwa praktik nepotisme dan dinasti kekuasaan telah terjadi untuk kali pertama dalam sejarah Islam di masa kepemimpinan Muawiyah. Momen itu dibuktikan ketika Muawiyah yang tidak rela tampuk kekuasaan setelahnya jatuh ke tangan selain keturunannya. Dia telah mempersiapkan Yazid putra kesayangannya sebagai pemimpin dunia Islam masa itu (Dzahabi, 1993).

Pada kenyataannya, pengangkatan Yazid sebagai Khalifah bukanlah melalui proses merit system, melainkan dengan praktik haram nepotisme.  Hal tersebut jauh panggang dari api dari yang pernah dilakukan pada suksesi kepemimpinan di masa Khulafaur Rasyidin. Tercatat di masa Yazid memimpin tidak memberikan maslahat yang baik bagi umat. Malahan, pada masanya terdapat catatan-catatan hitam dalam sejarah Islam. Terbunuhnya Sayyidina Husein di Karbala, Perang Harrah sesama kaum Muslimin (Balaidzuri, 1938), serta penjarahan besar-besaran kota Madinah merupakan aib di dalam kepemimpinannya. Para sejarawan Islam menuliskan nir-kegemilangan untuk masa pemerintahannya. Terlebih para sejawaran dari kelompok Syiah yang bahkan sampai mengutuk ketokohan Yazid.

***

Sejarah adalah guru terbaik untuk belajar dari masa lalu. Potret-potret yang terekam dalam sejarah bukan hanya sebagai catatan mati tak berguna. Dari sejarah masa lalu kita dapat belajar tentang praktik nepotisme dan dinasti politik dalam hal kekuasaan tidak hanya menciptakan gerakan-gerakan perlawanan pada pemerintahan, tetapi juga berdampak pada ketidakstabilan pada sebuah negara, karena di dalam praktik nepotisme akan menggerogoti nilai-nilai meritokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam prinsip bernegara. Pada proses berbangsa dan bernegara, sebuah bangsa akan dianggap berperadaban luhur dan bertamadun  jika nilai-nilai meritokrasi dikedepankan. Dalam hal kepemimpinan, seorang individu akan dianggap beretika dan berintegritas jika dapat mengerem nafsu kekuasannya dalam hal praktik-praktik yang nepotik.

Demikian artikel mengenai Nepotisme dan Dinasti Politik, sampai jumpa di artikel kami berikutnya.

Referensi

https://www.britannica.com/topic/nepotism

Baladzuri, Ahmad bin Yahya. 1938. Ansab al-Asyraf, jild. 4, bagian. 2, cet. Maks Shelusinger: Yerusalim, hal, 42.

De Silva, Jennifer Mara. 2016. Articulating Work and Family: Lay Papal Relatives in the Papal States, 1420–1549. Renaissance Quarterly 69.1, hal.  1-39.

Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. (1993). Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, cet.II, hal, 339.

Montaubin, Pascal. 2004. Bastard Nepotism, Niccolò di Anagni, a nephew of pope Gregor IX, and Camerarius of Pope Alexander IV. Essays in Honour of Brenda M. Bolton. Brill, hal 129-176

Saliba, George. 1998. Tarikh al-Rusul Wa-l-Muluk (History of Prophets and Kings), the History of al-Tabari, vol. XVII, the First Civil War, hal. 125-127.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *