Review Film Shark – Di era media sosial dan tekanan performatif zaman sekarang, bullying bukan lagi sekadar kejadian di lorong sekolah. Ia menjadi fenomena sosial yang menelan jiwa anak muda secara diam-diam—menghancurkan rasa percaya diri, memenjarakan mental, dan terkadang bahkan merenggut nyawa.
“Shark: The Beginning“ (2021) dan serial lanjutannya “Shark: The Storm” bukan hanya kisah tentang seorang anak lemah yang menjadi kuat, tapi refleksi nyata dari bagaimana trauma akibat kekerasan bisa menjadi luka jangka panjang yang tak terlihat. Film ini bicara tentang kita semua—baik korban, pelaku, maupun penonton diam.
Baca juga: Review Film “Survival Family” : Bertahan Hidup Tanpa Listrik
Sinopsis Singkat
Cha Woo-sol adalah siswa SMA pemalu dan tertutup yang menjadi sasaran bullying brutal oleh Bae Seok-chan. Saat akhirnya Woo-sol melawan, ia justru dipenjara karena membela diri. Di pusat pemasyarakatan remaja, ia bertemu Jung Do-hyun, seorang mantan petarung MMA. Dari sinilah perubahan dimulai—bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Woo-sol belajar menjadi “ikan hiu” di lautan yang penuh predator.
Dalam Shark: The Storm, cerita bergulir ke dunia luar, tempat Woo-sol menghadapi dunia nyata yang lebih rumit. Ketika kekerasan berhenti secara fisik, luka batin dan tekanan masyarakat justru bertambah. Serial ini menunjukkan bahwa kehidupan setelah trauma tidak mudah, bahkan bisa lebih berat daripada ketika luka itu dibuat.
Analisis Tema dan Kaitan Zaman Sekarang
A. Bullying Bukan Sekadar Fisik — Tapi Digital, Psikologis, Sistemik
Di zaman digital, bullying hadir tanpa batas ruang. Cyberbullying menjadi senjata utama generasi sekarang: body shaming, penyebaran rumor, komentar jahat di media sosial, hingga pemboikotan sosial online. Film ini memperlihatkan bahwa korban bullying bukan hanya kehilangan rasa aman, tapi juga kehilangan identitas, eksistensi, dan rasa memiliki terhadap dunia.
Woo-sol mewakili ribuan remaja yang tak bisa membalas atau melarikan diri. Ia adalah simbol dari “anak-anak yang diam”—yang tidak punya tempat untuk mengadu, yang justru disalahkan oleh sistem karena mencoba membela diri.
B. Pelaku Juga Produk Kekerasan
Film ini juga menggarisbawahi bahwa pelaku bullying seperti Seok-chan bukan selalu “jahat” dari sananya. Mereka adalah produk dari kekerasan struktural: keluarga yang abusif, sistem pendidikan yang kaku, dan budaya kompetisi tak sehat. Ini menunjukkan bahwa solusi tidak sesederhana menghukum pelaku—harus ada reformasi sosial dan pendidikan karakter sejak dini.
C. Kekuatan Mentoring dan Dukungan Emosional
Transformasi Woo-sol terjadi karena adanya Jung Do-hyun—bukan hanya sebagai pelatih, tapi sebagai satu-satunya figur dewasa yang percaya pada potensi Woo-sol. Dalam masyarakat kita hari ini, banyak remaja yang tidak punya satu pun orang dewasa untuk dipercaya.
Film ini menyuarakan pentingnya kehadiran mentor, guru, atau bahkan teman sebaya yang bisa menjadi tempat bersandar. Ini menjadi pengingat bahwa pemulihan dari trauma tidak bisa berjalan sendiri.
D. Sistem yang Tidak Netral — Saat Korban Jadi Tersangka
Salah satu aspek paling menyakitkan dari film ini adalah kenyataan bahwa Woo-sol, korban kekerasan, justru dipenjara karena “melawan”. Hal ini sangat relevan dengan realitas hari ini, di mana sistem hukum dan pendidikan seringkali lebih cepat menilai daripada memahami. Banyak korban yang takut bicara karena takut dibully lagi, atau tidak dipercaya.
Realitas Sosial: Kita Semua Terlibat
Film ini secara tidak langsung mengajukan pertanyaan: Apakah kita bagian dari solusi, atau penonton diam?
Di media sosial, kita sering melihat video kekerasan yang viral—dan banyak dari kita menonton tanpa rasa bersalah, bahkan menjadikan korban sebagai lelucon. Ini adalah bentuk kekerasan baru: kekerasan pasif kolektif, di mana publikasi luka menjadi tontonan massal.
“Shark” menampar kita dengan realitas itu. Bahwa setiap komentar kita, ketidakpedulian kita, bisa memperpanjang penderitaan seseorang.
Pesan Moral dan Refleksi
-
Keberanian bukan berarti tidak takut. Woo-sol tetap merasa takut sepanjang film. Tapi ia tetap berdiri. Ini memberi pesan kuat bahwa keberanian adalah saat kita memilih untuk tidak menyerah, meski tubuh dan jiwa kita gemetar.
-
Lingkungan yang suportif lebih penting daripada kekuatan fisik. Dukungan satu orang bisa menyelamatkan satu jiwa. Jangan pernah remehkan kebaikan kecil.
-
Jangan hanya ajari anak menjadi juara — ajari mereka menjadi manusia. Sistem pendidikan sering kali mengagungkan nilai akademik dan prestasi, tapi mengabaikan nilai kemanusiaan.
-
Kita perlu lebih dari sekadar anti-bullying campaign. Kita butuh perubahan budaya, empati yang dihidupkan, dan keberanian untuk membela yang lemah.
Kesimpulan: Sebuah Seruan, Bukan Sekadar Film
“Shark: The Beginning” dan “Shark: The Storm” adalah karya yang berhasil menyampaikan isu besar dalam bingkai cerita yang emosional dan mengena. Ia tidak hanya menyajikan drama dan aksi, tapi juga membuka ruang diskusi tentang luka kolektif yang sering kita abaikan—terutama di kalangan remaja.
Ini bukan sekadar film tentang membalas dendam. Ini adalah tentang menemukan kembali harga diri, keberanian, dan kemanusiaan.