Puisi-Puisi WS Rendra Tentang Ibu

Puisi-puisinya tentang ibu mengekspresikan penghargaan yang luar biasa terhadap peran ibu dalam kehidupan manusia.

Untung Sudrajad
W. S. Rendra membaca puisi (www.tribunnewswiki.com)
W. S. Rendra membaca puisi (www.tribunnewswiki.com)

Puisi-Puisi WS Rendra Tentang Ibu, beliau adalah salah satu penyair terkemuka Indonesia. Nama Lengkapnya adalah Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra) yang lahir pada tanggal 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 6 Agustus 2009 di Jakarta (usia 73 tahun).

Rendra dikenal sebagai penyair, dramawan, budayawan, dan aktivis yang sangat produktif dan berpengaruh di Indonesia. Karya-karyanya dianggap sebagai pencetus kebangkitan sastra kontemporer Indonesia.

Beberapa karya terkenalnya antara lain kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Blues untuk Bonnie, dan Sihir Hujan.
Dia juga menulis naskah drama seperti Adinda Peri Bawakan Dari Timur, Sekali Lagi Aku Memilih Tahanan, dan Mengapa Mungli Took Dibuang ke Laut.

Rendra juga dikenal sebagai aktivis sosial yang vokal mengkritik ketidakadilan dan penindasan melalui karya-karyanya. Dia pernah ditahan pada masa Orde Baru karena dianggap menghasut.

Dengan gaya bahasa yang puitis, filosofis, dan penuh metafora, Rendra dianggap sebagai salah satu penyair terbaik Indonesia yang berhasil mengangkat kesusastraan dalam menyuarakan persoalan kemanusiaan dan membangkitkan kesadaran kritis masyarakat.

Puisi-puisinya tentang ibu mengekspresikan penghargaan yang luar biasa terhadap peran ibu dalam kehidupan manusia.

Sajak Ibunda

Puisi ini merupakan pujian dan penghargaan mendalam Rendra kepada sosok ibu.

Rendra menempatkan ibu sebagai “pelengkap sempurna kenduri besar kehidupan”, mengunggulkannya di atas istri dan kekasih.

Ibu digambarkan dengan bahasa yang sangat filosofis dan bernuansa spiritual, seperti “langit senja kala”, “gema dari bisikan hati nuraniku”, dan “aku mewarisi naluri kejadian alam semesta”.

Puisi ini mengekspresikan betapa ibu adalah sumber kehidupan, kebajikan, dan teladan bagi manusia.

Namun, Rendra juga mempertanyakan perilaku manusia yang jahat seperti “maling”, “pembunuh”, “koruptor”, dan “tiran”, yang juga memiliki ibu.

Dikontraskan ketidakwajaran perilaku jahat mereka dengan kelembutan dan kebaikan seorang ibu.

Rendra seperti menggarisbawahi bahwa betapa pun jahatnya manusia, tetap ada teladan kebaikan dari seorang ibu yang seharusnya dicontoh.

Dalam “Sajak Ibunda”, Rendra membandingkan ibu dengan “buah-buahan” – sumber kehidupan yang menyegarkan.

Ungkapan “langit senja kala” dan “keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya” menjadikan ibu sebagai simbol keindahan dan pencapaian.

Lebih jauh lagi, ibu dikatakan “mewarisi naluri kejadian alam semesta”, mengangkat derajat ibu sebagai sumber serta penerus kehidupan seluruh alam semesta.

Salah satu keunggulan puisi-puisi Rendra adalah kemampuannya untuk menghadirkan perspektif dan sudut pandang yang segar serta provokatif mengenai peran ibu.

Dalam “Sajak Ibunda”, ia berani mempertanyakan bagaimana orang-orang jahat seperti “maling, pembunuh, koruptor, tiran” bisa memiliki ibu.

Ini mengisyaratkan keprihatinan Rendra akan adanya kemungkinan paradoks di mana seorang ibu yang lembut bisa melahirkan individu-individu jahat tersebut.

Rendra seperti merefleksikan kegamangan, “Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?

Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?”

Ia mengeksplorasi apakah masih ada kemurnian dan kebajikan dalam diri ibu-ibu dari orang-orang jahat tersebut.

Perdebatan batin dalam puisinya menunjukkan kedalaman Rendra dalam memikirkan peran dan pengaruh ibu dalam membentuk baik-buruknya perilaku seorang anak.

Jangan Takut Ibu

Puisi ini merupakan seruan penyemangat bagi ibu untuk tetap tegar dan berani menghadapi kehidupan yang penuh ketidakadilan dan kekerasan.

Rendra menyebutkan banyak peristiwa kelam seperti bom atom, pembunuhan massal, diskriminasi rasis, hingga terorisme.

Namun di tengah itu semua, ibu diingatkan untuk “tidak takut” dan “tidak mau diancam” agar ketakutan tidak meningkatkan penindasan dan penjajahan.

Ibu digambarkan sebagai sumber harapan dan kekuatan dengan “rahim dan susunya adalah persemaian harapan” dan “kekuatan ajaib insan dari zaman ke zaman”.

Melalui puisi ini, Rendra menyeru ibu untuk menjadi teladan keberanian dan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Rendra memosisikan ibu sebagai pemberi kekuatan dan harapan di tengah kengerian perang, kekerasan, dan penindasan yang menimpa dunia.

“Rahim dan susu” ibu disimbolkan sebagai “persemaian harapan” dan “kekuatan ajaib insan dari zaman ke zaman”.

Bait “Aku cium tanganmu, Ibu!” mengekspresikan rasa hormat dan bakti yang mendalam kepada ibu.

Dalam “Jangan Takut Ibu”, Rendra menggunakan gaya lirik yang mencengangkan dengan menyebut nama kotoran seperti “gubernur sarapan bangkai buruh pabrik” dan “bupati mengunyah aspal”.

Meski terkesan sadis, ini merefleksikan kepahitan Rendra menyaksikan penindasan dan ketidakadilan yang keji yang dilakukan para penguasa.
Namun di tengah kengerian itu, Rendra menyemangati ibu agar tetap kuat dan tidak takut sebagai benteng perlawanan.

Hai Ma

Puisi ini lebih personal dan intim, merupakan ungkapan kasih sayang dan kerinduan Rendra kepada ibunya.

Rendra mengekspresikan kengerian menghadapi “hidup yang tidak hidup” dan rasa kekosongan saat kehilangan daya dan fitrah hidup.

Namun, mengingat keberadaan ibunya mampu mengembalikan makna dan kenyataan dalam hidup Rendra.

Ia menceritakan momen-momen indah bersama ibunya seperti berada di perahu, saling bertukar pikiran dan cita-cita.

Rendra menggambarkan kedekatan dan rasa aman yang didapatkannya dari ibunya dengan mengingat bau tubuh ibunya, pelukan, dan ciuman di leher ibunya.

Puisi ini mengekspresikan betapa ibu adalah pusat spiritual dan sumber kekuatan kehidupan bagi Rendra secara personal.

Dalam “Hai Ma” yang paling personal, Rendra mengungkap kerinduan akan kasih sayang, kehangatan fisik, dan kedekatan batin dengan ibunya.

Rendra begitu mengingat sampai detail seperti “bau kulit” dan “ciuman di leher” ibunya yang membuatnya merasa aman dan bermakna.

Ia merasa lengkap secara eksistensial ketika mengingat dan bersama ibunya.

Dalam “Hai Ma” terlihat sisi Rendra yang paling personal dan emosional.
Ia mengungkap kekosongan eksistensial “hidup yang tidak hidup” dan bagaimana mengingat ibunya mampu mengembalikan makna dan daya hidupnya.

Ungkapan-ungkapan seperti “bau kulitmu”, “peluk kamu di atas perahu”, dan “ciuman di lehermu” menunjukkan hubungan erat, mesra, dan sarat memori indah antara Rendra dan ibunya.

Dalam ketiga puisinya, Rendra memperlihatkan kemampuan lirik yang luar biasa dalam mencerap dan memuliakan peran serta signifikansi seorang ibu.

Ia menggunakan metafora dan simbol-simbol kaya makna untuk melukiskan sang ibu serta menyampaikan perenungannya.

Secara keseluruhan, puisi-puisi Rendra memiliki penghayatan yang kaya akan peran sentral ibu, baik dalam dimensi spiritual, psikologis, maupun fisik.

Ada kecerdasan dan kedalaman perenungan dalam bagaimana Rendra merayakan dan memuliakan jasa serta arti seorang ibu bagi diri dan kehidupannya.

Penghargaannya terhadap ibu benar-benar monumental dan universal.
Jelas dalam puisi-puisinya, Rendra tidak hanya memuliakan ibu secara klise.

Ia berani mengeksplorasi sisi paradoksal, mengungkap kepahitan, sekaligus membuka luka personal hubungannya dengan sang ibu.

Inilah yang menjadikan pujian Rendra akan ibu tampil begitu segar, mendalam, dan mengena di lubuk hati para pembaca.

Puisi – Puisi WS Rendra tentang ibu tersebut adalah sebagai berikut:

Sajak Ibunda
Karya : WS Rendra

Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.”
Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.
(Pejambon, Jakarta 1977)

Jangan Takut Ibu
Oleh : W.S. Rendra

Matahari musti terbit.
Matahari musti terbenam.
Melewati hari-hari yang fana
ada kanker payudara, ada encok,
dan ada uban.
Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.
Jangan takut, Ibu!
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
meningkatkan penindasan.
Manusia musti lahir.
Manusia musti mati.
Di antara kelahiran dan kematian
bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,
serdadu-serdadu Jepang memanggal kepala patriot-patriot Asia,
Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,
Terotis Amerika meledakkan bom di Oklahoma
Memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi,
di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,
serdadu Inggris membantai para pemuda di Irlandia,
orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman.
Jangan takut, Ibu!
Jangan mau gigertak.
Jangan mau diancam.
Karena ketakutan
meningkatkan penjajahan.
Sungai waktu
menghanyutkan keluh-kesah mimpi yang meranggas.
Keringat bumi yang menyangga peradaban insane
Menjadi uranium dan mercury.
Tetapi jangan takut, ibu!
Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati.
Rasi Bima Sakti berzikir di dahi.
Aku cium tanganmu, Ibu!
Rahim dan susumu adalah persemaian harapan.
Kekuatan ajaib insan
Dari zaman ke zaman.
Hamburg, 30 September 2003

Hai Ma,
Oleh : WS. Rendra

Ma,
bukan maut yang menggetarkan hatiku
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
Ada malam-malam aku menjalani
lorong panjang tanpa tujuan kemana-mana
Hawa dingin masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada
Bintang-bintang menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan kehadiran kegelapan
Tidak ada pikiran, tidak ada perasaan,
tidak ada suatu apa…..
Hidup memang fana Ma,
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada
Kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara,
dijauhi ayah bunda dan ditolak para tetangga
Atau aku terlantar di pasar, aku berbicara
tetapi orang-orang tidak mendengar
Mereka merobek-robek buku
dan menertawakan cita-cita
Aku marah, aku takut, aku gemetar,
namun gagal menyusun bahasa
Hidup memang fana Ma,
itu gampang aku terima
Tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savanna
membuat hidupku tak ada harganya
Kadang-kadang aku merasa
ditarik-tarik orang kesana-kemari,
mulut berbusa sekedar karena tertawa
Hidup cemar oleh basa-basi dan
orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan, atau percintaan tanpa asmara,
dan senggama yang tidak selesai
Hidup memang fana, tentu saja Ma
Tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit sambil tak tahu kenapa
Rasanya setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini
Tetapi Ma,
setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku
Kelenjar-kelenjarku bekerja, sukmaku menyanyi,
dunia hadir, cicak di tembok berbunyi,
tukang kebun kedengaran berbicara kepada putranya
Hidup menjadi nyata, fitrahku kembali
Mengingat kamu Ma
adalah mengingat kewajiban sehari-hari
Kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi
Kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma
Masing-masing pihak punya cita-cita,
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata
Hai Ma,
apakah kamu ingat aku peluk kamu di atas perahu
Ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu
Masya Allah, aku selalu kesengsam dengan bau kulitmu
Ingatkah waktu itu aku berkata :
Kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna
Wuah aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini
Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa
Kemaren dan esok adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa
Sudah ya Ma…
Jakarta, Juli 1992

Referensi:

Puisi Ibu Karya WS Rendra
https://www.nitamarelda.com/2021/12/puisi-ibu-karya-ws-rendra.html


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *