Opini  

Pelecehan Seksual di Universitas: Jejak Luka Tak Terhapus

Paksi Jaladara Bintara
Ilustrasi Korban Pelecehan Seksual (foto: freepik.com)
Ilustrasi Korban Pelecehan Seksual (foto: freepik.com)

Pelecehan Seksual di Universitas: Jejak Luka Tak Terhapus – Indonesia gelap sempat mewarnai atmosfer media sosial beberapa bulan lalu. Namun, di sela-sela itu, kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkup universitas selalu punya ruang untuk eksis. Meskipun terkadang jarang disorot oleh publik atau disorot hanya untuk sementara waktu, kasus-kasus pelecehan seksual seperti itu cukup seksi untuk ditelanjangi dalam sebuah tulisan. Barangkali pula karena kurangnya sorotan dari publik, pelaku bejat yang tidak dapat menahan nafsu berahinya menjadi tidak segan melakukan tindakan asusila tersebut.

Berangkat dari hal di atas, saya pernah mengobrol dengan seorang korban pelecehan seksual—berkat bantuan kawan tongkrongan saya. Dia tidak ingin memberitahu identitasnya ke publik, walaupun itu hanya inisial namanya saja. Bahkan, dia enggan diberi nama samaran yang saya anggap akan mempermudah tulisan ini. Rasanya sungguh aneh, menulis mengenai sosok yang tidak memiliki identitas. Bahkan, tokoh fiksi dalam novel-novel pun pasti memiliki identitas yang lebih rinci. Namun, marilah menghargai keinginannya sebagai bentuk terima kasih karena telah mengizinkan saya berbagi sedikit hasil obrolan dengannya.

Kecuali yang satu ini, korban tidak terlalau mempermasalahkannya untuk diberitahu ke publik; dia adalah mahasiswi aktif di salah satu universitas ternama yang dilecehkan oleh salah seorang oknum dosen ketika sedang bimbingan skripsi. Universitas mana tepatnya? Sayangnya, dia melarang saya memberitahu ke publik. Saya berpikir bahwa dia terlalu baik untuk tidak merusak citra baik atau nama universitasnya yang telah dikenal oleh khalayak banyak.

Publik selalu berfokus ke korban, alih-alih ke pelaku

Saya merasa cukup naif sampai dia menyampaikan sesuatu yang mematahkan pikiran saya mengenai dia menjaga citra baik universitasnya. Dia berkata kepada saya, seperti ini, “Orang-orang selalu kepo dengan korban, mereka selalu ingin tahu segala hal mengenai korban. Siapa namanya? Berapa umurnya? Bagaimana fisiknya? Sampai-sampai ada yang kepo di mana dan bagaimana korban dilecehkan.”

Saya pun akhirnya menarik pikiran tersebut. Dengan kata lain, dia berusaha menjaga ruang privasi dirinya sendiri. Itulah sebabnya pula kenapa dia meminta saya merahasiakan identitasnya dalam tulisan ini. Saya tidak perlu bertanya banyak hal untuk yang satu itu karena saya tahu bagaimana cara publik merespons. Sebagian menaruh simpati kepada korban, sebagian pula akan meneror media sosial universitas dan media sosial pelaku dengan komentar hujatan, tidak jarang pula ada yang membongkar identitas korban—entah karena iseng atau terlalu kepo. Baik saya maupun dia sama-sama berusaha menghindari respons yang terakhir.

Baca juga: Indonesia Darurat Pelecehan Seksual: Saatnya Bergerak Melawan

Stigma sosial dan komentar negatif dari publik terhadap korban

“Aku harus ngelewatin hari-hari penuh trauma selepas kejadian itu, dan aku harus siap ngehadapin bagaimana pandangan keluarga, teman, orang-orang di sekitar melihat aku,” demikian dia berkata. Kemudian, saya pun bertanya, “Kalau boleh tahu, pandangan seperti apa itu, Kak?”

 “Seperti dipandang sebagai barang yang udah rusak. Parahnya lagi, ada yang mengatakan bahwa gaya pakaianku yang terlalu ketat, atau justru aku sendiri yang mengundang pelaku melakukan itu,” jawabnya. Saya pun mengangguk paham.

Jawaban yang disampaikan itu sudah cukup membuat saya sadar bahwa ada yang salah dengan cara berpikir masyarakat. Korban pelecehan seksual seharusnya ditemani, dirangkul, atau didukung untuk melewati hari-hari penuh rasa trauma dan menyembuhkan lukanya. Bukan dicap atau dilabeli dengan stigma buruk yang pada akhirnya akan memperdalam luka bagi korban. Selain itu, mirisnya lagi selalu ada komentar berkonotasi negatif yang menyudutkan korban.

Sama halnya yang disampaikan oleh dia, “Akan ada komentar-komentar yang ditujukan ke aku, komentar-komentar yang menyudutkan aku sebagai korban. Ya, mirip-miriplah seperti yang tadi aku bilang. Kayak aku gak jaga gaya berpakaianlah atau aku yang genitlah, dan itu justru keluar dari mulut perempuan, lho.”

Kesenjangan kekuasaan antara pelaku dan korban

Saya sempat bertanya kepadanya, “Kasus ini baru dilaporkan ke satgas PPKS kampus setelah tiga bulan berlalu, ya. Kalau boleh tahu, apa yang selama ini menahan Kakak untuk tidak melapornya?”

“Yang pasti adalah ada rasa trauma. Itu paling pertama. Aku sakit banget pas inget kejadian itu, apalagi mau buka-bukaan sama orang saat itu, dan belum siap saja dengan tanggapan orang-orang nantinya,” jawabnya lalu berhenti sejenak.

Saya bukan seorang pakar ekspresi, tetapi melihatnya tertunduk saat itu membuat saya meyakini bahwa dia masih menyimpan trauma akibat kejadian tersebut. Meskipun begitu, mari sejenak memberi apresiasi karena dia telah siap berbagi ceritanya kepada saya, termasuk melaporkannya ke satgas PPKS universitas. Namun, dia sebenarnya mengumpulkan beribu-ribu keberanian untuk bisa melaporkan ke satgas PPKS universitas. Alasannya karena ada kesenjangan kekuasaan antara dia sebagai korban dengan oknum dosen sebagai pelakunya.

“Dengar-dengar, ‘kan, dosennya itu ada backingan di birokrasi. Katanya ada kenalan, kayak orang kepercayaan atau dekat banget dengan WD III sama ketua prodi gitu. Ada ketakutan buat aku, semisalnya aku ngelaporin kasus ini, terus dosen itu bawa backingan-nya buat ngancam balik aku agar aku bungkam dan kasus ini gak disebar luaskan. Apalagi saat itu, ‘kan, aku masih nyusun skripsi, takutnya aku dipersulit di akademik atau pas lagi ngurus administrasi. Sedangkan aku hanya mahasiswa biasa, gak punya backingan. Jadinya, mudah aja tuh dibungkam sama kekuasaan mereka,” jawabnya.

Ketiadaan bukti kuat dan satgas PPKS yang blunder

Dia menyampaikan bahwa kasus ini bisa sampai ke satgas PPKS universitas adalah berkat bantuan sahabatnya—juga merupakan teman tongkrongan saya yang mempertemukan saya dengannya. Berkat saran sahabatnya, dia pun lalu bercerita kepada keluarganya. Berkat dukungan keluarganya pula, dia pun melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Namun, permasalahannya tidak selesai sampai di situ.

“Aku banyak ngurus berkas-berkas dan prosedur juga. Lumayan lama di situ. Salah satunya adalah ngasih bukti ke petugas satgasnya,” kata dia.

Saya lalu bertanya, “Jadi buktinya ada, Kak?”

“Sayangnya gak ada. Sempat minta liat CCTV di kantor jurusan, tapi tidak ada CCTV yang mengarah ke ruangan dosen tersebut,” jawabnya.

Karena ketiadaan bukti yang kuat, kasusnya jadi terhambat. Meski dia sering bolak-balik ke satgas PPKS universitas, petugasnya tak acuh seolah menganggap kasus pelecehan seksual yang dialaminya adalah hal biasa. Akhirnya dia pun berhenti bolak balik ke satgas PPKS universitas. Namun, dia tidak mengaku kalah, alih-alih mencoba jalan lain.

“Ada akun Ig (Instagram) shitpost kampusku yang sering banget kritik persoalam kampus. Nah, aku sempat DM ke Ig-nya kalau aku pernah ngalamin pelecehan seksual. Eh, responsnya adminnya baik banget, ngalahin respons petugas satgas PPKS. Awalnya cerita-cerita lewat DM, tapi adminnya ngajak ketemuan. Akhirnya ketemuan di cafe, aku cerita seluruh kronologisnya. Terus adminnya bilang bakal bantuin untuk suarakan kasus ini dan bakal menjamin privasiku sewaktu kasus ini digoreng-goreng sama mereka,” jelasnya.

***

Demikianlah, kasus itu naik ke media sosial dan cukup menarik banyak atensi publik saat itu. Akun Instagram shitpost tersebut benar-benar menggoreng kasus itu dalam unggahan meme yang berbau sarkas. Melalui unggahan-unggahan tersebut, saya pun mengetahui dan mengikuti kasusnya. Akibat panasnya kasus tersebut pula, mahasiswa di universitasnya pun melakukan demonstrasi agar birokrasi bertindak memberikan hukuman kepada dosen pelaku. Itu adalah sisi positifnya, sisi negatifnya adalah sebagian komentar dari publik justru menyudutkannya sebagaimana yang telah saya bahas sebelumnya.

Saking panasnya kasus tersebut digoreng-goreng, bahkan sampai menimbulkan demonstrasi, satgas PPKS pun melakukan tindakan yang bisa dikatakan blunder. Ini juga masuk sisi negatif. Bagaimana tidak, salah seorang petugasnya menghubungi korban dengan maksud menyudutkan korban karena terburu-buru mengeluarkan kasus ini dari lingkup universitas dan menyampaikannya di media sosial. Dalam chat Whatsapp yang diperlihatkan kepada saya; oknum petugas tersebut sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh korban karena bisa merusak nama baik universitas dan karier dosen pelaku.

Apa tanggapan birokrasi universitas?

“Ketika aku dihubungin oleh petugas itu, aku gak peduli sama nama baik kampus atau karier dosen itu. Aku cuma mau keadilan, aku cuma mau ada sebab dan akibat di sini. Tapi sayangnya, itu sia-sia aja,” kata dia.

“Sia-sia gegara kampus tidak acuh, Kak?”

“Ya, kampus kek gak begitu peduli. Yang berubah cuma dosen itu udah gak jadi dospem aku lagi, sudah diganti. Selebihnya sama saja. Dosen itu masih bisa jalan ke sana ke mari, bersenang-senang dan tertawa. Sedangkan aku harus hidup dengan rasa trauma dan luka. Selalu ngehindarin ruangannya, selalu pindah jalan kalau ada dia di koridor kelas,” jawabnya.

Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, belum ada tindakan tegas dari birokrasi universitas. Sementara itu, dia masih berharap ada secercah cahaya untuk keadilan dirinya. Saya pun menghubunginya tempo hari perihal menanyakan bagaimana kelanjutan kasus ini. Dia berkata bahwa belum ada kelanjutan sama sekali. “Ini sudah lebih sebulan sejak aku melapor, sudah sekitaran empat bulan juga setelah kejadian itu,” tambahnya.

Pada akhirnya, kasusnya terlupakan begitu saja, seolah-olah tak pernah ada. Mahasiswa yang dulu sempat melakukan demonstrasi tak ada lagi. Akun Ig shitpost kampusnya tak lagi menggoreng-goreng kasus ini. Semuanya perlahan padam, tenggelam ke dasar lautan, tetapi tidak dengan trauma dan luka yang dirasakan oleh korban.

Referensi:

Pelecehan Seksual: Definisi, Jenis, Ciri, serta Hal yang Perlu Dilakukan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *