Belum selesai pada praktik jual beli gelar profesor bulan kemarin, dan akhirnya kini mencuat di permukaan terkait fakta normalisasi joki tugas di dunia pendidikan kita, Indonesia.
Kedua fenomena keruh dunia pendidikan tersebut sebenarnya bisa dikatakan anak cabang dari kreativitas bisnis pada dunia pendidikan.
Bagaimana tidak, keduanya sama-sama menjadi ladang bisnis di dunia pendidikan yang tidak mengenal etika dan norma untuk menjadi seorang yang terdidik.
Kenalan dengan istilah Joki Tugas
Joki tugas merujuk pada praktik di mana seseorang membayar pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas akademik atas nama mereka.
Fenomena ini telah berkembang menjadi industri terselubung yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga para profesional (pengajar dan para ahli).
Praktik ini mencederai prinsip dasar pendidikan yang menekankan pada kejujuran dan usaha pribadi dalam mencapai keberhasilan akademik.
Istilah ini telah lama saya kenal di dunia perkuliahan, ya tidak sedikit yang memberikan informasi jalur tikus untuk mendapat nilai guna syarat kelulusan saja.
Penyebab Normalisasi Joki Tugas
Normalisasi joki tugas tidak terjadi dalam ruang hampa. Berbagai faktor kontributif menjadi pemicu utamanya:
- Tekanan Akademis dan Beban Tugas. Sistem pendidikan yang kompetitif sering kali memaksakan beban tugas yang berat kepada siswa/mahasiswa. Akibatnya, mereka mencari jalan pintas untuk memenuhi tuntutan akademik tanpa mempertimbangkan etika.
- Kurangnya Manajemen Waktu. Banyak siswa/mahasiswa yang kesulitan mengatur waktu antara belajar, bekerja, dan kegiatan lain. Ketidakmampuan mengelola waktu ini sering kali menjadi alasan mereka menggunakan jasa joki tugas.
- Rendahnya Kesadaran tentang Etika Akademik. Ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap pentingnya integritas akademik mendorong banyak siswa/mahasiswa untuk mengabaikan nilai-nilai kejujuran.
- Pengaruh Lingkungan Sosial dan Budaya. Budaya yang mengedepankan hasil akhir dibandingkan proses pembelajaran turut memperparah normalisasi joki tugas. Kesuksesan diukur dari nilai tinggi dan ijazah, bukan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari keempat penyebab adanya sikap normalisasi joki tugas tersebut, saya dapatkan dari pengamatan yang selama ini saya lakukan saat masih dibangku perkuliahan.
Lalu Apa Dampaknya pada Pendidikan?
Normalisasi joki tugas membawa dampak merugikan yang signifikan terhadap dunia pendidikan. Pertama, penurunan Kualitas Pembelajaran.
Siswa/mahasiswa yang menggunakan jasa joki tugas tidak benar-benar memahami materi yang seharusnya dipelajari, sehingga mengurangi kualitas pembelajaran.
Kedua, ketidakjujuran Akademik. Praktik ini merusak nilai-nilai kejujuran dan integritas akademik yang seharusnya dijunjung tinggi dalam lingkungan pendidikan.
Ketiga, citra buruk institusi pendidikan. Institusi yang gagal mengatasi masalah joki tugas akan kehilangan reputasi dan kepercayaan dari masyarakat.
Selain dampak pada pendidikan, normalisasi joki tugas juga mampu menimbulkan dampak buruk dalam jangka panjang.
Misalnya seperti, lulusan yang tidak kompeten. Lulusan yang bergantung pada joki tugas cenderung tidak siap menghadapi tantangan di dunia kerja karena kurangnya pemahaman dan keterampilan yang memadai.
Kerugian bagi tempat kerja di kemudian hari. Perusahaan yang mempekerjakan lulusan yang tidak kompeten akan mengalami kerugian dari segi produktivitas dan kualitas kerja.
Yang terakhir yaitu, Praktik Tidak Etis di Masyarakat. Normalisasi joki tugas menciptakan preseden buruk, mendorong praktik tidak etis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fakta Lapangan di Dunia Pendidikan
Beberapa dosen terlibat dalam memberikan informasi atau rekomendasi mengenai jasa joki tugas kepada siswa atau mahasiswa.
Ini bisa berupa pemberitahuan langsung atau melalui forum dan kelompok diskusi yang tidak resmi. Keberadaan informasi semacam ini memperburuk situasi, karena siswa/mahasiswa mungkin merasa bahwa menggunakan jasa joki adalah pilihan yang sah.
Dalam beberapa kasus, dosen juga terlibat dalam praktik joki tugas, seperti menulis tugas atau skripsi atas nama siswa dengan imbalan finansial.
Bahkan ada dosen yang terlibat dalam joki pembuatan jurnal untuk kepentingan kenaikan pangkat. Praktik ini menunjukkan bagaimana etika akademik dipandang rendah oleh sebagian pengajar.
Ketika pelaku joki tugas termasuk dosen dan ahli yang seharusnya menjadi panutan etika akademik, praktik ini semakin dianggap normal di kalangan akademisi.
Normalisasi ini tidak hanya mempengaruhi siswa dan mahasiswa, tetapi juga mempengaruhi pandangan keseluruhan terhadap integritas akademik di institusi pendidikan.
Praktik joki tidak hanya terbatas pada tugas akademik biasa, tetapi juga merambah ke pembuatan jurnal dan publikasi akademik.
Dosen yang ingin mempercepat proses kenaikan pangkat sering kali memanfaatkan jasa joki untuk menghasilkan karya ilmiah atau jurnal yang diperlukan, mengaburkan batasan antara usaha dan jalan pintas.