Ketika Akademisi Gila Gelar, Pemerintah Menciptakan Lapak Pasar Jabatan

Ketika Akademisi Gila Gelar, Pemerintah Menciptakan Lapak Pasar Jabatan
Gambar: Canva MediaProduction, by: Getty Image Signature. {edited by: iim maya sofa)

Sejumlah dosen dan pesohor memanipulasi gelar guru besar, atau profesor. Fenomena akademisi gila gelar ini sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Bahkan fenomena Profesor instan ini sudah ada sejak tahun 1958, yaitu masa Orde Lama.

Untuk saat ini, cara mendapatkan profesor ecek-ecek masih populer diminati dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan akademisi. Prosesnya saja yang berbeda tetapi tujuan dan outputnya tetap sama, sama-sama mengais pengakuan dan penghasilan.

Apa Penyebabnya?

Kenaikan jabatan akademisi  di Indonesia saat ini tidak lain memiliki dua tujuan, yaitu untuk mendapat pengakuan dan yang kedua untuk mendapat penghasilan.

Tak berhenti di situ saja, pemerintah ikut andil mendukung dan sorak-sorai untuk menambah jumlah profesor di dunia pendidikan kita. Ini dibuktikan sejak 6 tahun yang lalu pemerintah terlalu berambisi untuk mencetak guru besar menjadi lebih banyak 10 kali lipat.

Lagi-lagi pemerintah kita hanya memandang dari segi kuantitas untuk sebuah kualitas. Penilaian kuantitas ini dilihat dari jumlah guru besar yang hanya 2% dari jumlah banyaknya dosen. Sehingga menjadikan pemerintah berambisi untuk menggandakan 10 kali lipat jumlah guru besar, menjadi 20% dari jumlah dosen. Sebuah ambisi yang sangat fantastis.

Namun, ambisi itu hingga saat ini masih sebagai mimpi belaka. Mengutip dari website mpr.go.id  menyatakan bahwa jumlah profesor di Indonesia, pada tahun 2023 hanya berjumlah 2,61 persen. Masih jauh dari angan-angan semu pemerintah.

Meski kenaikan yang sangat sedikit itu, nyatanya sudah mampu melahirkan banyak guru besar abal-abal seperti yang diberitakan oleh tempo. “Investigasi Tempo menemukan 11 Dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan telah mendapat gelar guru besar melalui jalan pintas”, saya kutip dari Tempo Opini.

Fakta Lain

Fakta yang menarik untuk dijadikan sebagai bukti bahwa ambisi pemerintah menciptakan banyak lapak pasar yang menawarkan macam-macam jabatan, sesuai harga dan ketentuan.

Selain sorak-sorai ambisi yang digaungkan 6 tahun yang lalu, saya menilik Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. (Judul peraturan yang cukup panjang)

Pada Pasal 26 ayat 3 tentang Kenaikan Jabatan Akademik Dosen untuk Menjadi Profesor/Guru Besar bagian C, Menjelaskan beberapa syarat untuk mendapat kenaikan pangkat, di antaranya: “karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi”. 

Nah inilah yang saat ini menjadi bisnis paling populer di dunia akademisi kita. Peraturan ini menjadi jalur belakang akademik dengan cara mempublikasi karya ilmiah di jurnal dengan cara yang ilegal. Yakni jurnal yang menampilkan tulisan tanpa tinjauan sejawat, dengan tarif tambahan. Ya, apa boleh buat?

Ini tidak semata-mata bisnis bodong, bisnis ini menguntungkan dan menargetkan orang-orang akademisi yang gila gelar. Dosen yang kebelet menjadi guru besar ini, akan mencari pedagang lapak yang mau menjual gelar akademik. Termasuk assesor kementerian kita yang bertugas untuk menilik pemenuhan syarat menjadi guru besar, ya Anda sudah pasti tahu siapa itu.

Apa Istimewanya Menjadi Profesor?

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kenaikan pangkat akademisi di Indonesia ini memiliki dua output besar, yaitu penghasilan dan pengakuan.

Penghasilan, ini sudah menjadi sasaran paling utama untuk beberapa dosen yang memang menargetkan diri untuk mendapat gaji dengan cara yang tidak mau susah. Memang benar, kenaikan gaji dari pemerintah ini semata-mata sebagai penghargaan atas karya dan kontribusi pak Profesor. Namun itu hanya berlaku untuk para guru besar yang sebenarnya.

Lalu untuk guru besar abal-abal? apakah layak untuk mendapat penghargaan demikian? Tidak berhenti di situ saja,  gelar guru besar abal-abal ini tidak hanya merugikan mahasiswanya, melainkan membuat citra pendidikan di Indonesia menjadi semakin buruk.

Kemudian, perihal pengakuan. Sudah tidak perlu diragukan lagi. Cara pandang sebagian masyarakat kita masih menganggap bahwa gelar guru besar atau profesor ini sudah setara seperti manusia setengah dewa. Dianggap sangat keren, sangat pandai dan memahami banyak keilmuan dan ahli dibidangnya.

Pandangan seperti ini memang tidak salah jika ditujukan pada orang yang tepat (profesor sungguhan). Namun untuk profesor abal-abal? tentu ini hanya akan dijadikan sebagai alat validasi saja guna mengenyangkan ambisi semu mereka (profesor abal-abal).

Kiat-kiat saran

Bicara panjang lebar, saya tidak ingin hanya berakhir tanpa memberikan solusi. Untuk opini Akademisi gila gelar yang saya tulis kali ini, saya ingin memberikan sebuah pandangan yang mungkin saja bisa disebut sebagai solusi, (mungkin). Namun ini bukan solusi final, melainkan saran yang tercipta dari beberapa fakta yang ada.

Melihat fakta yang ada, saya menyimpulkan bahwa untuk menghapus intrik buruk dalam dunia pendidikan kita, maka yang harus ditangani adalah penyebabnya.

Seperti, ambisi pemerintah. Pemerintah dipersilakan untuk berambisi, tapi jangan melonggarkan aturan dan membiarkan jalur belakang yang ilegal untuk memudahkan mendapat gelar profesor.

Ya memang benar, pemerintah sudah menargetkan jumlah persentase profesor untuk memperbaiki citra pendidikan kita. Namun yang perlu diingat bahwa hakikat dari citra yang baik ini, tidak bisa terlepas dari kualitas yang mumpuni.

Untuk apa, menimbun banyak SDM bergelar panjang, jika untuk menetapkan peraturan tak pikir panjang. Citra pendidikan yang baik itu, seharusnya SDM yang telah terdidik. Jangan diiming-iming naik gaji dan diberikan jalan opsi untuk memudahkan mendapat gelar Profesor.

Justru ini menjadikan gelar profesor dan guru besar menjadi buruk bagi akademisi yang melek peraturan. Citra pendidikan kita hanya baik secara topeng saja. Jika pemerintah hanya terfokus pada kuantitas SDM yang bergelar.

Profesor palsu akan melahirkan sarjana imitasi, karena sebuah kepalsuan akan melahirkan kepalsuan kuadrat. Sekian opini tentang Akademisi Gila Gelar dari saya, sampai jumpa di opini selanjutnya!

Sumber Artikel:

  1. mpr.go.id
  2. databoks.katadata.co.id
  3. Channel Youtube Tempo Video Channel
  4. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *