Kekosongan Duta Besar dan Strategi Indonesia Menghadapi Perang Tarif

Kebijakan tarif impor 32% Trump mengancam ekonomi Indonesia, namun posisi Duta Besar RI di AS kosong hampir dua tahun

Kedutaan Indonesia di Amerika (Foto: https://www.peduliwni.com)
Kedutaan Indonesia di Amerika (Foto: https://www.peduliwni.com)

Kekosongan Duta Besar dan Strategi Indonesia Menghadapi Perang Tarif – Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal yang menargetkan berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan tarif impor sebesar 32%.

Kebijakan ini, yang disebut sebagai “Hari Pembebasan” oleh Trump, bertujuan untuk melindungi ekonomi domestik AS dengan mengurangi defisit perdagangan dan mendorong produksi dalam negeri.

Bagi Indonesia, kebijakan ini bukan sekadar tantangan ekonomi, tetapi juga ujian bagi kapasitas diplomasi pemerintah dalam menjaga hubungan bilateral yang strategis dengan AS. Namun, di tengah situasi kritis ini, Indonesia menghadapi kendala serius: posisi Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk AS telah kosong selama hampir dua tahun sejak Rosan Roeslani meninggalkan jabatan tersebut pada Juli 2023.

Kekosongan ini, ditambah dengan strategi diplomasi yang tampak reaktif dan kurang terkoordinasi, menimbulkan pertanyaan besar tentang kesiapan Indonesia menghadapi perang tarif Trump.

Baca juga: Donald Trump Kembali Memimpin AS

Kekosongan Duta Besar: Sinyal Ketidakseriusan Diplomasi

Posisi Duta Besar adalah representasi tertinggi negara di luar negeri, setara dengan wakil kepala negara di negara akreditasi. Dalam konteks hubungan Indonesia-AS, peran ini menjadi semakin krusial mengingat AS adalah mitra dagang terbesar kedua Indonesia dan penyumbang surplus perdagangan nonmigas yang signifikan.

Kekosongan posisi Dubes RI untuk AS sejak Juli 2023 mencerminkan kegagalan manajemen diplomatik yang serius. Meskipun tugas perwakilan sementara dipegang oleh Kuasa Usaha Ad Interim Ida Bagus Made Bimantara, posisi ini tidak memiliki otoritas, akses, atau pengaruh yang setara dengan seorang duta besar definitif.

Seperti yang dikemukakan oleh Sofi Mubarok dari Universitas Darussalam Gontor, seorang duta besar memiliki akses langsung ke lingkaran elit Gedung Putih, yang sulit dijangkau oleh pejabat dengan status lebih rendah. Tanpa kehadiran duta besar, Indonesia kehilangan kemampuan untuk melakukan lobi tingkat tinggi yang efektif, terutama dalam negosiasi sensitif seperti tarif impor.

Kekosongan ini bukanlah hal sepele. Secara implisit, situasi ini dapat diartikan sebagai sinyal bahwa AS bukanlah prioritas utama dalam politik luar negeri Indonesia. Meskipun Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menegaskan bahwa AS tetap menjadi mitra strategis, fakta bahwa posisi Dubes belum terisi setelah hampir dua tahun menunjukkan adanya ketidakpatutan dalam pengelolaan hubungan bilateral.

Lebih jauh lagi, seperti yang diungkapkan oleh Musfi Romdoni dari Institute for Security and Strategic Studies, kekosongan ini mencerminkan fokus pemerintahan yang belum stabil, baik di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo maupun di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Transisi pemerintahan tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan pengisian posisi yang begitu vital, terutama ketika Indonesia menghadapi ancaman ekonomi seperti kebijakan tarif Trump.

Strategi Diplomasi Indonesia

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan akan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi tanpa retaliasi untuk menghadapi tarif resiprokal AS. Pendekatan ini diambil untuk menjaga hubungan perdagangan jangka panjang dan stabilitas ekonomi nasional.

Airlangga menyebutkan beberapa langkah konkret, seperti revitalisasi Trade & Investment Framework Agreement (TIFA), relaksasi Non-Tariff Measures (NTM) seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN), dan peningkatan impor serta investasi dari AS. Meskipun langkah-langkah ini terdengar strategis, implementasinya tampak reaktif dan kurang terkoordinasi, terutama tanpa kehadiran duta besar yang dapat mengawal proses negosiasi secara langsung di Washington, D.C.

Klaim Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno bahwa kekosongan Dubes tidak akan memengaruhi negosiasi karena komunikasi dilakukan oleh pejabat tingkat tinggi patut dipertanyakan.

Negosiasi tarif impor adalah proses yang kompleks dan berkelanjutan, yang membutuhkan kehadiran perwakilan diplomatik tetap untuk membangun hubungan, mengumpulkan intelijen politik, dan melakukan lobi di luar forum resmi. Tanpa duta besar, Indonesia bergantung pada delegasi sementara yang mungkin tidak memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika politik dan ekonomi AS. Selain itu, kebijakan tarif Trump bersifat dinamis dan dapat berubah dengan cepat, sehingga perlu respons yang konsisten dan terkoordinasi, sesuatu yang sulit dicapai tanpa kehadiran diplomat senior di lapangan.

Lebih lanjut, strategi diplomasi Indonesia tampaknya tidak cukup mempertimbangkan realitas geopolitik yang lebih luas. Kebijakan tarif Trump tidak hanya menargetkan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain seperti Tiongkok (34%), Jepang (24%), dan Uni Eropa (20%). Dalam konteks ini, Indonesia seharusnya memanfaatkan aliansi regional seperti ASEAN untuk membentuk front bersama dalam negosiasi dengan AS.

Airlangga berencana mengadakan pertemuan dengan negara-negara ASEAN pada 10 April 2025, langkah ini terlambat dan belum menunjukkan koordinasi yang kuat. Vietnam, misalnya, telah berhasil memanfaatkan perang dagang AS-Tiongkok pada 2019 dengan menarik investasi asing dan meningkatkan ekspor ke AS. Indonesia perlu belajar dari pendekatan proaktif Vietnam, yang tidak hanya berfokus pada negosiasi bilateral tetapi juga pada diversifikasi pasar dan peningkatan daya saing produk.

Dampak Ekonomi dan Urgensi Pengisian Posisi Duta Besar

Kebijakan tarif resiprokal AS berpotensi memberikan dampak signifikan pada ekonomi Indonesia, terutama pada sektor ekspor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, yang menyumbang sekitar 27,5% dari total ekspor ke AS. Menurut Andry Satrio Nugroho dari INDEF, tarif sebesar 32% dapat menyebabkan penurunan daya saing produk Indonesia di pasar AS, yang pada akhirnya berdampak pada melambatnya produksi dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Industri tekstil, yang telah kehilangan 30 pabrik dalam tiga tahun terakhir, berada dalam posisi yang sangat rentan. Selain itu, kebijakan ini juga dapat memperburuk depresiasi rupiah, meningkatkan inflasi impor, dan menekan daya beli masyarakat.

Di tengah ancaman ini, kehadiran duta besar yang kompeten menjadi semakin mendesak. Seorang duta besar tidak hanya bertindak sebagai negosiator, tetapi juga sebagai pelobi yang dapat memengaruhi persepsi pembuat kebijakan di AS.

Dinna Prapto Raharja dari Synergy Policies menekankan pentingnya menempatkan sosok yang ahli dalam ekonomi politik dan memiliki jaringan kuat di AS. Sejarah menunjukkan bahwa posisi Dubes RI untuk AS sering diisi oleh figur prominen seperti Ali Sastroamidjojo, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, atau Dino Patti Djalal, yang memiliki kombinasi pengalaman diplomatik, keahlian ekonomi, dan koneksi politik. Dalam konteks saat ini, seorang duta besar ideal harus memiliki kedekatan dengan lingkaran Trump atau pemahaman mendalam tentang karakternya untuk memfasilitasi negosiasi yang lebih efektif.

Namun, seperti yang diungkapkan oleh Musfi Romdoni, pemerintahan Prabowo tampaknya kesulitan menemukan kandidat yang memenuhi kriteria ini. Banyak sosok kompeten telah menduduki posisi strategis lain, seperti Rosan Roeslani yang kini menjabat sebagai Menteri Investasi dan Kepala BPI Danantara. Situasi ini menunjukkan kurangnya perencanaan strategis dalam pengelolaan sumber daya manusia diplomatik, yang seharusnya menjadi prioritas sejak transisi pemerintahan.

Rekomendasi untuk Langkah ke Depan

Untuk menghadapi perang tarif Trump secara efektif, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah berikut:

1. Segera Mengisi Posisi Duta Besar untuk AS

Pemerintah harus memprioritaskan pengangkatan duta besar yang memiliki keahlian di bidang ekonomi, jaringan internasional, dan pemahaman mendalam tentang politik AS. Proses ini harus dilakukan dengan transparansi dan tanpa penundaan yang tidak perlu.

2. Memperkuat Koordinasi Diplomasi Regional

Indonesia harus memimpin upaya ASEAN untuk membentuk strategi bersama menghadapi kebijakan tarif AS. Koordinasi dengan negara-negara seperti Vietnam dan Singapura dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi.

3. Diversifikasi Pasar Ekspor

Untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS, Indonesia perlu mempercepat diversifikasi ekspor ke negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Uni Eropa, sambil meningkatkan kualitas dan daya saing produk.

4. Reformasi Struktural Ekonomi

Kebijakan seperti penyederhanaan regulasi dan relaksasi TKDN harus diimbangi dengan reformasi yang memperkuat industri domestik, terutama sektor padat karya yang rentan terhadap tarif impor.

5. Peningkatan Kapasitas Diplomatik

Pemerintah perlu berinvestasi dalam pelatihan diplomat untuk menghadapi tantangan perdagangan global yang semakin kompleks, termasuk dengan membangun tim khusus yang fokus pada negosiasi perdagangan bilateral.

Kesimpulan

Kekosongan posisi Dubes RI untuk AS selama hampir dua tahun adalah cerminan dari kelemahan manajemen diplomatik yang serius, terutama di tengah ancaman perang tarif Trump.

Strategi diplomasi Indonesia yang reaktif dan kurang terkoordinasi, ditambah dengan absennya perwakilan diplomatik tetap di Washington, D.C., berpotensi melemahkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi.

Meskipun pemerintah telah menunjukkan niat untuk menempuh jalur diplomasi, efektivitasnya diragukan tanpa kehadiran duta besar yang kompeten dan tim diplomatik yang kuat. Dalam jangka pendek, pengisian posisi Dubes harus menjadi prioritas utama, sementara dalam jangka panjang, Indonesia perlu membangun strategi perdagangan yang lebih proaktif dan resilien untuk menghadapi dinamika geopolitik global.

Tanpa langkah-langkah ini, Indonesia berisiko kehilangan peluang ekonomi dan melemahkan hubungan strategis dengan AS, sebuah harga yang terlalu mahal untuk dibayar dalam era ketidakpastian global saat ini.

Referensi:

Tarif Resiprokal AS
Tanpa Dubes di AS, Bisakah Indonesia Hadapi Kebijakan Trump?
https://tirto.id/tanpa-dubes-di-as-bisakah-indonesia-hadapi-kebijakan-trump-hajX

Mau Negosiasi Soal Tarif Impor, tapi Indonesia Tak Punya Dubes di AS
https://nasional.kompas.com/read/2025/04/04/19575291/mau-negosiasi-soal-tarif-impor-tapi-indonesia-tak-punya-dubes-di-as

Dubes Indonesia di AS Kosong 2 Tahun, Komisi I: Bukan karena Amerika Tak Penting
https://nasional.kompas.com/read/2025/04/06/14203861/dubes-indonesia-di-as-kosong-2-tahun-komisi-i-bukan-karena-amerika-tak?source=bacajuga&engine=C

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *