Jiwa Ksatria

Untung Sudrajad
Jiwa Ksatria (by Copilot Bing AI)
Jiwa Ksatria (by Copilot Bing AI)

Jiwa Ksatria – Senja mulai merambat di langit Yogyakarta, mewarnai cakrawala dengan semburat jingga keemasan. Di sebuah padepokan tua di pinggiran kota, Mbah Suryo duduk bersila di atas lantai kayu yang sudah aus dimakan usia. Di hadapannya, seorang pemuda berusia 20-an tahun bernama Joko Widagdo juga duduk dengan posisi yang sama, wajahnya menunjukkan campuran antara rasa hormat dan kebingungan.

***

“Joko,” suara berat Mbah Suryo memecah keheningan, “kamu sudah berlatih di padepokan ini selama lima tahun. Tapi aku lihat, masih ada yang kurang dari dirimu.”

Joko mengerutkan dahi, “Kurang bagaimana, Mbah? Saya sudah berlatih keras setiap hari. Bahkan kemarin saya bisa mengalahkan Mas Agus dalam latih tanding.”

Mbah Suryo tersenyum tipis, “Nah, itu dia masalahnya. Kamu terlalu fokus pada kemenangan fisik. Padahal, seorang ksatria sejati bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga kuat batinnya.”

“Maksud Mbah?” tanya Joko, masih belum mengerti.

“Begini, Le. Di zaman dulu, nenek moyang kita punya filosofi yang namanya ‘Toto Tatag Tutug’. Ini bisa dibilang Bushido-nya orang Jawa. Tahu Bushido kan?”

Joko mengangguk, “Iya, Mbah. Kode etik samurai Jepang itu kan?”

“Betul. Nah, ‘Toto Tatag Tutug’ ini prinsip hidup yang mirip, tapi versi Jawanya. Coba kamu ambil buku di rak sana, yang sampulnya coklat.”
Joko beranjak, mengambil buku yang dimaksud, dan kembali ke posisi semula.

“Buka halaman 42,” perintah Mbah Suryo.

***

Joko membuka halaman yang dimaksud dan mulai membaca dengan suara pelan:

“Toto artinya tertata, baik lahir maupun batin. Seorang ksatria harus bisa menata hidupnya dengan baik. Mulai dari hal-hal kecil seperti merapikan tempat tidur setiap pagi, sampai hal-hal besar seperti mengatur emosi dan pikiran.”

“Nah, coba lihat kamarmu,” Mbah Suryo menunjuk ke arah bangunan asrama. “Apa sudah tertata dengan baik?”

Joko terdiam, teringat akan baju-baju yang berserakan di lantai kamarnya.
“Tatag,” lanjut Mbah Suryo, “artinya berani dan mantap. Seorang ksatria harus punya keberanian menghadapi tantangan apapun. Tapi bukan berani yang nekat, melainkan berani yang didasari keyakinan dan persiapan yang matang.”

“Seperti saat melawan Mas Agus kemarin?” tanya Joko.

“Ya, tapi bukan cuma dalam pertarungan. Dalam hidup sehari-hari pun kita perlu keberanian. Berani mengakui kesalahan, berani membela yang lemah, berani membela kebenaran, berani mengatakan “tidak” pada hal-hal yang salah.”

Joko mengangguk pelan, mulai memahami.

“Yang terakhir, Tutug. Artinya menyelesaikan tugas dengan tuntas dan sempurna. Seorang ksatria sejati tidak boleh meninggalkan tugas atau tanggung jawabnya setengah jalan. Harus diselesaikan sampai tuntas, apapun risikonya.”

“Bahkan kalau berisiko… mati, Mbah?” tanya Joko ragu-ragu.

***

Mbah Suryo menatap Joko dalam-dalam, “Ya, bahkan jika itu berarti kematian. Tapi ingat, kita tidak mencari kematian. Kita menghargai hidup dan menggunakannya sebaik mungkin. Tapi jika memang harus mati demi menyelesaikan tugas mulia, seorang ksatria tidak akan gentar.”

Joko terdiam, mencerna kata-kata gurunya. Ia teringat akan teman-temannya di luar sana, yang sibuk dengan TikTok dan Instagram, mengejar likes dan followers. Ia merasa ada jurang yang begitu dalam antara nilai-nilai yang baru saja ia pelajari dengan realitas dunia modern.

“Mbah,” Joko akhirnya angkat bicara, “apa nilai-nilai seperti ini masih relevan di zaman sekarang? Maksud saya, dunia sudah berubah. Tidak ada lagi perang antar kerajaan atau samurai yang bertarung sampai mati.”

Mbah Suryo tersenyum bijak, “Justru di zaman seperti inilah nilai-nilai ini semakin penting, Joko. Coba lihat dunia di luar sana. Orang-orang sibuk mengejar hal-hal yang fana. Uang, popularitas, kekuasaan. Mereka lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari itu semua.”

“Apa itu, Mbah?”

“Integritas, Le. Keselarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Itulah esensi dari Toto, Tatag, Tutug. Kamu bisa jadi orang paling kaya di dunia, tapi kalau hidupmu tidak tertata, tidak punya keberanian untuk membela kebenaran, dan selalu meninggalkan masalah setengah jalan, apa gunanya?”

Joko mengangguk pelan, mulai memahami maksud gurunya.

***

“Tapi Mbah,” Joko kembali bertanya, “bagaimana caranya menerapkan nilai-nilai ini di zaman sekarang? Saya tidak mungkin kan tiba-tiba jadi samurai atau ksatria zaman dulu.”

Mbah Suryo tertawa kecil, “Ya tidak perlu jadi samurai, Le. Coba kamu lihat kehidupanmu sehari-hari. Bagaimana kamu bisa menerapkan Toto, Tatag, dan Tutug?”

Joko berpikir sejenak, “Hmm… mungkin Toto bisa saya terapkan dengan lebih disiplin mengatur waktu ya, Mbah? Tidak main HP sampai larut malam, bangun pagi tepat waktu, membereskan kamar…”

“Bagus,” Mbah Suryo mengangguk. “Lanjutkan.”

“Kalau Tatag… mungkin dengan berani mengatakan pendapat saya di kelas? Selama ini saya sering diam saja karena takut salah.”

“Itu juga benar. Dan ingat, berani bukan berarti tidak sopan. Kamu bisa menyampaikan pendapat dengan tegas tapi tetap santun.”

Joko mengangguk semangat, “Dan Tutug… mungkin dengan menyelesaikan tugas kuliah sampai tuntas? Tidak menunda-nunda atau menyerah di tengah jalan?”

“Tepat sekali,” Mbah Suryo tersenyum puas. “Lihat, tidak sulit kan menerapkan nilai-nilai ini di kehidupan modern?”

***

Joko tersenyum lebar, merasa mendapat pencerahan baru. Namun tiba-tiba wajahnya kembali serius, “Tapi Mbah, bagaimana dengan meditasi dan olah batin? Saya dengar samurai Jepang juga berlatih Zen untuk memperkuat mental mereka.”

“Ah, kamu menyinggung hal yang penting, Joko,” Mbah Suryo mengangguk. “Di Jawa, kita punya tradisi kebatinan yang tidak kalah dalamnya dengan Zen di Jepang. Kamu tahu istilah ‘mati sajroning urip’?”
Joko menggeleng.

“Artinya ‘mati dalam hidup’. Ini bukan berarti kita mati secara fisik, tapi mematikan ego kita. Dengan meditasi dan olah batin, kita belajar untuk tidak terlalu terikat pada hal-hal duniawi. Kita belajar untuk tenang menghadapi apapun, bahkan kematian sekalipun.”

“Apa itu tidak bertentangan dengan semangat berjuang, Mbah? Maksud saya, kalau kita tidak terikat pada apapun, apa kita masih punya motivasi untuk berjuang?”

***

Mbah Suryo tersenyum, terkesan dengan pertanyaan muridnya. “Pertanyaan bagus, Joko. Justru sebaliknya. Ketika kita tidak terikat pada hasil, kita bisa berjuang dengan lebih tulus. Kita berjuang bukan karena ingin dipuji atau takut dihukum, tapi karena memang itu yang benar untuk dilakukan.”

Joko terdiam, mencerna kata-kata gurunya.

“Coba kamu bayangkan,” lanjut Mbah Suryo, “ada dua orang yang sama-sama menolong korban kecelakaan. Yang satu menolong karena berharap dapat pujian dan mungkin imbalan. Yang satunya menolong karena memang itu yang seharusnya dilakukan, tanpa mengharapkan apapun. Mana yang menurutmu lebih mulia?”

“Tentu saja yang kedua, Mbah,” jawab Joko tanpa ragu.
“Nah, itulah hasil dari olah batin. Kita belajar untuk bertindak bukan karena mengharapkan imbalan atau takut hukuman, tapi karena itu memang yang benar untuk dilakukan.”

Joko mengangguk pelan, mulai memahami kedalaman ajaran gurunya.

***

“Tapi Mbah,” Joko kembali bertanya, “bagaimana caranya melatih olah batin ini? Apa sama seperti latihan fisik yang kita lakukan setiap hari?”

Mbah Suryo tersenyum, “Ya dan tidak. Olah batin memang perlu latihan rutin, tapi bentuknya berbeda. Coba mulai besok, setiap pagi sebelum latihan fisik, kamu duduk diam selama 15 menit. Fokus pada napasmu. Rasakan udara masuk dan keluar dari tubuhmu.”

“Hanya itu, Mbah?”

“Untuk permulaan, ya. Kedengarannya mudah, tapi coba saja dulu. Kamu akan lihat betapa sulitnya mengendalikan pikiran kita.”

Joko mengangguk, bertekad untuk mencoba metode yang diajarkan gurunya.

“Dan satu lagi, Joko,” Mbah Suryo melanjutkan, “ingat bahwa semua ini adalah proses. Tidak ada yang namanya kesempurnaan dalam hidup ini. Yang ada hanya usaha terus-menerus untuk menjadi lebih baik.”

“Seperti Tutug ya, Mbah? Terus berusaha sampai akhir?”

“Tepat sekali,” Mbah Suryo tersenyum bangga. “Kamu mulai paham esensinya.”

***

Senja di luar semakin gelap. Suara adzan magrib sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

“Sudah magrib,” ujar Mbah Suryo. “Ayo kita salat dulu. Ingat, ibadah juga bagian dari olah batin.”

Joko mengangguk dan beranjak mengambil air wudhu. Dalam hatinya, ia merasa mendapat pencerahan baru. Nilai-nilai Toto Tatag Tutug yang baru ia pelajari terasa begitu dalam dan universal.

Selesai salat, Joko kembali mendekati gurunya. “Mbah, saya masih punya satu pertanyaan.”

“Apa itu, Le?”

“Tadi Mbah bilang kalau nilai-nilai ini mirip dengan Bushido di Jepang. Apa artinya ada kesamaan antara budaya kita dengan budaya lain?”

Mbah Suryo tersenyum lebar, “Ah, kamu menyentuh hal yang sangat menarik, Joko. Ya, semakin kita mendalami ajaran spiritual dari berbagai budaya, semakin kita temukan benang merahnya.”

“Maksud Mbah?”

“Coba kamu lihat. Di Jepang ada Bushido, di Jawa kita punya Toto Tatag Tutug. Di India ada ajaran Bhagavad Gita tentang karma yoga, bekerja tanpa terikat pada hasilnya. Di Yunani kuno, para filsuf Stoa mengajarkan tentang hidup selaras dengan alam dan menerima apapun yang terjadi dengan tenang.”

Joko mengangguk, mulai memahami maksud gurunya.

***

“Intinya,” lanjut Mbah Suryo, “di manapun di dunia ini, manusia pada dasarnya mencari hal yang sama. Ketenangan batin, keberanian menghadapi hidup, dan kebijaksanaan dalam bertindak.”

“Jadi sebenarnya kita semua saudara ya, Mbah? Maksud saya, secara spiritual?”

Mbah Suryo tersenyum lebar, “Tepat sekali, Joko. Itulah yang sering kusebut sebagai ‘persaudaraan batin’. Entah kamu seorang samurai di Jepang, ksatria di Jawa, yogi di India, atau filsuf di Yunani, pada akhirnya kita semua mencari hal yang sama.”

Joko terdiam sejenak, mencerna kata-kata gurunya. Ia merasa mendapat perspektif baru yang lebih luas tentang dunia dan kehidupan.

“Tapi Mbah,” Joko kembali bertanya, “kalau memang nilai-nilai ini universal, kenapa sepertinya banyak orang yang tidak peduli? Terutama anak-anak muda sekarang.”

Mbah Suryo menghela napas panjang, “Ah, itu pertanyaan yang bagus, tapi juga sulit, Joko. Dunia modern memang punya banyak godaan. Teknologi, media sosial, konsumerisme… semua itu bisa membuat orang lupa akan hal-hal yang lebih esensial dalam hidup.”

“Lalu bagaimana cara kita mengingatkan mereka, Mbah?”

“Dengan menjadi contoh, Joko. Kamu tidak perlu berkhotbah atau memaksa orang lain untuk mengikuti jalanmu. Cukup jalani hidupmu sesuai prinsip Toto Tatag Tutug. Lama-kelamaan, orang akan melihat ada yang berbeda dari dirimu.

Jadilah teladan yang memberikan pengaruh baik bagi lingkungan dan keluargamu” Mbah Suryo menghela nafas sebentar “Nasehat terbaik bukan berupa kotbah atau ucapan lesan, akan tetapi melalui contoh dan tindakan, karena kotbah dan ucapan mungkin bisa memberikan inspirasi bagi orang lain, akan tetapi nasehat terbaik justru hadir melalui sikap dan tindakan kita dalam kehidupan sehari – hari yang akan lebih membekas dibatin orang – orang disekitar kita”.

***

Mbah Suryo tersenyum “Sudah cukup sekian dulu pelajaran dan latihanmu hari ini, masa depanmu masih panjang, dan masih banyak pelajaran hidup yang harus kamu dalami sebagai bekal hidupmu sebagai ksatria Jawa”.

Demikian kisah “Jiwa Ksatria”, semoga dapat menginspirasi. Sampai jumpa pada artikel selanjutnya!

Baca juga: Ramalan Bai Liu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *