“Jangan takut dengan mesin cerdas, dengan Artificial Intellegence (AI), karena kemarin di G20, waktu di ASEAN summit, semuanya berbicara mengenai AI. Takut sekali semua negara mengenai AI.”
Statement Pak Jokowi mengenai AI dalam pidatonya di acara Dies Natalis IPB pada hari Jumat (15/9) lalu, membuat saya iseng ingin beropini terkait kemunculan AI yang semakin lama semakin marak menggantikan tenaga manusia dalam berbagai sektor pekerjaan.
Di tengah kekhawatiran angkatan kerja yang takut digusur AI, saya menoleh pada salah satu sektor yang keluhannya ramai di internet baru beberapa bulan yang lalu. Yaitu pekerjaan dalam industri kreatif, khususnya dari bidang seni.
Pekerjaan dalam bidang seni, dari awalnya saja sudah merupakan suatu pijakan yang rentan. Upah yang tidak menentu, kurangnya jaminan sosial, belum lagi negara kita masih lemah dalam mempertahankan hak cipta dari pekerja-pekerja kreatif. Belum juga kelar, sekarang pekerja kreatif dihadapkan dengan persaingan yang bukan dengan manusia lagi, tetapi dengan AI yang semakin menonjol semakin hari.
Dengan program seperti Stable Diffusion AI dan Midjourney, kini orang dapat menghasilkan karya hanya dengan modal mengetik prompt untuk acuan AI. Mau dengan gaya abstrak, kartun, anime, realistis, dengan bentuk lanskap ataupun menyerupai orang sungguhan, AI dapat menggubahnya dalam waktu singkat dan dalam jumlah banyak.
AI tidak tidur dan dapat digunakan kapan saja. Hanya dengan langganan sebulan, orang dapat menggunakan AI sepuasnya tanpa membayar dalam setiap pemakaian, menjadikan biaya lebih murah daripada memesan komisi di gig Fiverr. Sudah dapat ditebak jadinya bagaimana bagi nasib pekerja seni, itu pun baru dalam ranah seni visual.
ANCAMAN PLAGIASI DARI AI
AI sebenarnya tidak berdiri sendiri. Untuk menghasilkan sebuah karya, pertama-tama ia harus dilatih menggunakan berbagai sehingga mampu menyesuaikan dengan prompt yang diberikan oleh pengguna. Masalahnya, referensi-referensi itu diambil dari karya-karya orang sungguhan yang berseliweran di internet.
Tidak terbatas pada gambar, AI juga mengambil cerita dan lirik yang dipublikasikan melalui internet, yang kemudian menjadi bahan untuk bagi aplikasi seperti ChatGPT dan C.Ai yang basisnya berupa tulisan. Ini lebih sulit lagi untuk dikenali. Dengan begini, AI dianggap sama saja mengambil karya tanpa izin dan tanpa kompensasi yang layak bagi pencipta karya.
PENOLAKAN SENIMAN TERHADAP AI
Akibatnya, tentu saja banyak yang merasa terancam dan semakin alergi dengan keberadaan AI. Protes, tuduhan, dan tuntutan hukum dilancarkan untuk menjatuhkan derajat AI ketimbang seniman manusia dalam menghasilkan sebuah karya seni.
Sebelumnya saya mendengar dari teman, bagaimana user-user internet berusaha melaporkan developer Stable Diffusion AI hingga terkena ban ketika hangat-hangatnya perdebatan mengenai AI Art beberapa bulan yang lalu. Hal itu dilakukan dengan alasan untuk melindungi karir seniman, baik manual maupun digital. Mereka merasa tidak adil bahwa hasil latihan dan belajar bertahun-tahun dapat dengan mudah dikalahkan oleh aplikasi AI.
Secara pribadi, saya merasa netral, karena saya memahami kerisauan yang dirasakan oleh seniman yang merasa tergusur oleh keberadaan AI. Akan tetapi di sisi lain, teman-teman saya yang menggunakan AI Art merasa sangat terganggu dengan hal ini.
“Mereka (seniman) tidak bisa menerima keberadaan AI. Mereka takut kehilangan pekerjaan karena mereka tidak pernah menggunakan AI. Ya memang kasihan, tapi kamu nggak bisa terus menyerang AI.”
“Seharusnya mereka berpikir bagaimana caranya memakai AI sebagai alat, bukan hanya sekedar protes. Karena secara waktu dan efisiensi, AI memang jelas lebih unggul.”
Karena pernyataan itulah, saya memikirkan ulang bagaimana saya, dan bagaimana baiknya berbagai pihak memposisikan diri dalam memandang keberadaan AI.
AI TIDAK BISA BERDIRI SENDIRI
Entah mengapa, konflik ini mengingatkan saya pada robot Sophia yang dikembangkan Hanson Robotics pada tahun 2016, dan digadang-gadang sebagai robot humanoid paling pintar pada masanya. Robot Sophia hadir dalam berbagai acara interview dan dianggap sebagai robot sentient yang memiliki kesadaran, kecerdasan, dan kemampuan berpikir yang sama dengan manusia. Hal ini membuat publik merasa kagum sekaligus takut akan kemungkinan dikuasainya dunia manusia oleh robot serba bisa.
Tapi kemungkinan itu didebat oleh Loren Kimney (2018), yang mengatakan bahwa Sophia tak ubahnya sebuah chatbot, yang dirancang untuk menjawab pertanyaan berdasarkan algoritma dan informasi atau data dari internet. Ia bekerja sesuai dengan bagaimana ia diprogram oleh manusia.
Itulah yang harus disadari oleh kita semua, bahwa AI bukanlah suatu sistem yang dapat berdiri sendiri. Setidak-tidaknya belum dalam waktu dekat. AI dapat bekerja optimal karena ada manusia yang bekerja di baliknya. Manusia tetaplah otak yang mengendalikan AI. Meskipun kita tidak secanggih AI, tetapi kita dapat mengarahkan AI untuk bekerja sesuai dengan kemauan kita. Statement tersebut membawa saya kepada poin kedua saya.
AI ADALAH ALAT, BUKAN LAWAN
Keberadaan website gambar digital berbasis AI dibuat dengan tujuan agar siapapun dapat menciptakan karya mereka sendiri dengan waktu yang jauh lebih cepat. Siapapun dapat memakainya, akan tetapi tidak serta merta semua akan mendapati karya digital yang sesuai dengan kemauannya.
Mengapa? Karena AI tidak serta merta memahami apa yang diinginkan penggunanya. Satu-satunya cara ia dapat melakukannya adalah dengan input text-based prompts yang dimasukkan oleh pengguna. Maka dari itu sesuai atau tidaknya dengan keinginan pengguna tergantung pada kemampuan pengguna untuk mendeskripsikan kepada AI, dalam format yang dapat dimengerti olehnya.
Tanpa deskripsi yang tepat, karya yang keluar menjadi kaku, bahkan aneh. Misalnya dalam kasus saya yang hanya memasukkan prompt seadanya, gambar itu keluar dengan bentuk tangan yang aneh serta dekorasi baju yang tidak masuk akal. Sebaliknya teman saya yang mengerti coding yang digunakan AI, mampu menghasilkan gambar-gambar karakter anime yang lebih luwes. Dari dua pengguna dengan kecakapan yang berbeda, ada perbedaan kualitas yang mencolok.
Maka dari itu, sudah jelas, AI dalam konteks ini merupakan alat yang digunakan untuk mempermudah kinerja seseorang, baik seniman maupun non-seniman. Seniman sebenarnya bukan bersaing dengan AI semata. Akan tetapi mereka bersaing dengan orang-orang yang paham bagaimana caranya mengoperasikan dan memanfaatkan AI, sehingga menjadi sesuatu yang menguntungkan.
Maka dari itu, benar kata Pak Jokowi. Kita tidak seharusnya takut dan menjauh dari Artificial Intelligence. Sebaliknya, kita harus mengerti dan mampu mengontrol AI sebagai alat yang mempermudah kinerja kita.
TAHU CARA DAN ATURAN MAIN AI
Pada kenyataannya, semakin maju zaman, semakin kemajuan teknologi yang termasuk keberadaan AI tidak dapat ditolak. Perkembangan ini terjadi secara linear, tidak dapat dimundurkan, apalagi dihentikan. Mau tak mau, kita hanya bisa terus beradaptasi agar tidak terlindas roda modernisasi yang terus berputar maju.
Melanjutkan dari poin sebelumnya, fenomena ini menunjukkan pentingnya kita untuk lebih melek teknologi. Tidak hanya bagi seniman, tetapi masyarakat pada umumnya. Akan sangat menguntungkan bila masyarakat tahu bagaimana cara mengoperasikan AI sebagai salah satu skill baik dalam pekerjaan formal maupun formal. Pentingnya literasi teknologi/TIK juga bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia sejak dini.
Selain itu, menyetujui pidato Pak Jokowi, perlu ditetapkan ‘aturan main’ atau regulasi yang berhubungan dengan penggunaan AI. Dalam sektor kreatif, adanya regulasi dapat melindungi hak cipta dari pekerja industri kreatif. Diharapkan dengan adanya concern terhadap AI dapat membuka peluang bagi penegasan undang-undang hak cipta dan berbagai perlindungan lain bagi sektor kreatif yang selama ini masih terbengkalai.