Squid Game Season 3: Bukan Soal Menang, Soal Tidak Menjadi Binatang

Elsa Silalahi
Squid Game Season 3 (Foto: dok. Netflix)
Squid Game Season 3 (Foto: dok. Netflix)

Squid Game Season 3 – Dalam dunia yang makin kompleks, keadilan tak lagi hadir sebagai prinsip, melainkan topeng—dan Squid Game Season 3 adalah gambaran paling jujur dan pahit dari kenyataan tersebut. Permainan ini bukan lagi sekadar uji nyali untuk bertahan hidup, tapi eksperimen sosial yang kejam, di mana para pesertanya adalah manusia-manusia rusak yang tersingkir dari sistem dan kemudian diseret ke arena demi mempertontonkan seberapa jauh mereka bersedia menghancurkan satu sama lain demi selembar harapan. Dari luar, terlihat seperti ‘kompetisi adil’, tapi kita semua tahu—ini adalah ladang pembantaian yang dibungkus dalam narasi kesetaraan.

Yang menarik, permainan ini tidak hanya menghukum yang gagal secara fisik, tapi juga mereka yang masih berani memiliki hati. Siapa pun yang menyisakan empati, belas kasih, atau moralitas akan selalu menjadi target yang paling mudah dihancurkan. Dan itulah yang menjadikan kisah Seong Gi Hun sebagai poros yang menyayat sejak awal hingga akhir.

Baca juga: Squid Game Season 2: Permainan yang Menegangkan

Seong Gi Hun (456) : Satu-satunya yang Bertahan Tanpa Harus Membunuh Diri Sendiri

Di musim pertama, ia hanyalah pria malang bernomor 456—tidak pintar, tidak kuat, tapi cukup beruntung untuk hidup. Namun seiring musim berjalan, Gi Hun bukan hanya peserta, tapi pelajaran. Ia tidak mengandalkan strategi brilian atau kekuatan fisik, tapi memegang erat moralitasnya meski dunia terus memaksanya melepas itu semua. Di musim ketiga ini, Gi Hun tidak lagi naif. Ia tahu betapa busuknya sistem. Tapi meski luka makin banyak, ia tetap tidak membiarkan dirinya menjadi monster. Dan dalam dunia yang memuliakan kejahatan sebagai taktik bertahan hidup, keputusan untuk tetap manusia adalah bentuk pemberontakan paling tulus.

Hwang In-ho (Front Man): Dari Korban Menjadi Mesin Sistem

Berada di balik topeng dan jubah hitam, In-ho awalnya hanyalah mantan pemain bernomor 132. Namun saat ia naik tahta menjadi Front Man, kita melihat tragedi lain: korban yang memilih menjadi algojo. Ia tahu betapa menjijikkannya permainan itu, tapi tetap mengawasi jalannya. Meski di permukaan ia terlihat netral, ia masih menyimpan sedikit sisa hati—ia menyerahkan anak-anak Myunggi dan Jun Hee kepada Jun-ho, dan menyampaikan uang Gi Hun kepada Ga-yeong. Tapi pada akhirnya, ia tetap roda yang bekerja untuk mesin yang sama.

Karakter-karakter yang Membuka Luka Kita Sendiri

Jun Hee (222): Kepolosan yang Menolak Tumbang

Jun Hee adalah potret seorang ibu muda yang masuk ke arena bukan untuk dirinya, tapi untuk anak yang ia lahirkan bersama pria pengecut. Ia tetap polos, tapi kini ia berdiri dengan kaki sendiri. Ketika akhirnya ia bisa memeluk anaknya kembali yang telah sembuh, kita tahu: ia bukan hanya selamat—ia menang dengan cara yang benar.

Myunggi (333): Manusia Dewasa yang Tak Pernah Bertumbuh

Myunggi adalah wajah kejantanan palsu. Seorang pria dewasa yang bertingkah seperti bocah besar. Ia mengancam membunuh anaknya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia bertahan bukan karena layak, tapi karena tahu cara bermain kotor.

Yong Sik (007): Anak Gagal Dididik yang Dibuang Dunia

Yong Sik lahir dari luka. Ia tidak kuat, tidak pintar, hanya pasrah. Tapi ia tidak pernah jahat—dan dalam permainan ini, itu adalah kesalahan fatal.

Hyun Ju (120): Sosok Transgender yang Lebih Jantan dari Siapa Pun

Hyun Ju mencuri perhatian bukan karena ia berbeda, tapi karena ia berani menjadi benar di tempat yang salah. Ia menunjukkan bahwa keberanian sejati tidak berwujud gender, tapi karakter.

Dae Ho (358): Si Overthinking yang Selalu Ketakutan

Dae Ho hidup dalam kepanikan. Ia adalah cerminan generasi yang hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi. Ia bertahan, tapi dengan harga yang sangat mahal.

Minsu (125): Korban dari Ketidakmampuan Berkata ‘Tidak’

Minsu adalah anak baik yang terlalu baik. Ia tidak punya pendirian. Ia mencerminkan mereka yang tidak pernah diajarkan untuk memilih jalannya sendiri.

Nam Gyu (124): Si Cupu Pecandu yang Bersembunyi di Balik Orang Kuat

Nam Gyu adalah tipikal pengecut yang penuh siasat licik. Ia tak bisa berdiri sendiri, tapi tahu siapa yang harus ditempeli.

Seonnyeo (044): Agama di Mulut, Kepentingan di Hati

Dengan ayat-ayat di mulut dan tampang suci di wajah, Seonnyeo memanfaatkan agama sebagai alat manipulasi. Doa adalah teater, bukan harapan.

Haerin (149): Malaikat yang Tak Diberi Tempat

Haerin adalah karakter paling lembut, paling peduli, dan paling manusia. Tapi dalam permainan ini, kebaikan adalah kelemahan.

Park Doo-sik (100): Sosok Jahat yang Bertahan Paling Lama

Doo-sik bukan lagi manusia—ia adalah hewan berbicara. Dalam sistem seperti ini, yang paling tak berperasaan sering kali paling sukses.

Da-eun (246) & Shin-woo (Segitiga 11): Bertahan, Bukan Menang

Mereka bertahan bukan dengan kelicikan, tapi dengan prinsip. Mereka keluar tidak membawa harta, tapi cinta. Dua alasan paling tulus untuk hidup.

Jun-ho dan Pertanyaan yang Tak Punya Jawaban

Jun-ho adalah satu-satunya karakter yang menyelidik dari luar. Tapi saat ia bertemu kakaknya sendiri, sang Front Man, dunia seakan berhenti. Yang ia temui bukanlah pelukan, melainkan pengkhianatan yang dingin. “Hyung, wae?” adalah jeritan yang tidak pernah dijawab.

Keluar Tapi Kosong: Kemenangan Tanpa Makna

Da-eun dan Shin-woo mungkin adalah dua dari sedikit orang yang berhasil keluar hidup-hidup. Tapi apa arti kemenangan ketika tidak ada yang dibawa pulang selain trauma?

Sistem yang Katanya Adil, Tapi Cuma Mesin Pemotong Manusia

Permainan ini selalu mengaku adil. Tapi seperti dunia nyata, semua itu hanya ilusi. Yang kuat tetap berkuasa, yang pintar bisa memanipulasi, dan yang baik akan cepat mati.

Manusia: Binatang yang Bisa Tersenyum Sambil Membunuh

Mereka berkata “demi anak”, “demi Tuhan”, “demi masa depan”. Tapi semua itu hanyalah topeng—karena ketika kita mampu mengorbankan orang lain dengan tenang, yang mati bukan hanya korban—tapi kemanusiaan itu sendiri.

Satu-satunya Perlawanan: Tetap Menjadi Manusia

Di tengah sistem yang membunuh empati, satu-satunya bentuk pemberontakan adalah menolak menjadi seperti mereka. Gi Hun memilih kalah sebagai manusia daripada menang sebagai binatang.

Kita Semua Sedang Bermain, Tapi Tidak Semua Tahu

Squid Game Season 3 bukan hanya fiksi. Kita semua sedang ikut bermain—di kantor, di rumah, di media sosial. Kita menyikut, kita menilai, kita bertahan. Tapi pertanyaannya: apakah kita masih bisa menyebut diri kita manusia… atau hanya pemain yang tidak sadar bahwa kita sedang dibunuh pelan-pelan oleh sistem yang kita bantu jalankan sendiri?

Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Squid_Game_(musim_3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *