Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pinjaman Online (Pinjol)

Penulis: Anas Lutfi, Akademisi Universitas Al Azhar

Adhianti Wardhani
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pinjaman Online (Pinjol)
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pinjaman Online (Pinjol)

Suara Kreatif kali ini akan membahasa Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pinjaman Online (Pinjol). Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat di masyarakat, membuat semua hal terasa serba mudah. Begitu pun dengan memperoleh pinjaman, jika dulu masyarakat sulit mendapatkan pinjaman, kini untuk mendapatkan pinjaman uang cukup dengan menekan handphone saja.

Pertumbuhan Pinjaman Online yang  Pesat

Salah satu yang memudahkan adalah adanya platform penyedia jasa pinjaman secara digital atau biasa disebut pinjaman online (pinjol). Praktis dalam kurun waktu lima tahun terakhir, banyak orang membicarakan penetrasi fintech yang sangat cepat di masayarakat.

Terlebih tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan paling tidak 75 persen dari populasi orang dewasa di Indonesia bisa mengakses layanan institusi finansial, dan masyarakat pun semakin beramai-ramai memanfaatkan jasa fintech untuk mencapai tujuan finansialnya (Tantri Dewayani, 2021).

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk posisi per 31 Desember 2022, jumlah dana pinjaman yang telah disalurkan pinjol mencapai Rp. 19,5 Triliun, dengan cakupan penerima sebanyak 13,7 juta rekening peminjam. Ini adalah data dari 102 pinjol resmi yang terdaftar di OJK, kalau ditambahkan penyaluran pinjaman lewat pinjol illegal, jumlahnya bisa lebih banyak lagi.

Masalah Pinjol yang Sering Terjadi di Masyarakat

Menjamurnya pinjol di masyarakat bagai pisau bermata dua, di satu sisi memudahkan masyarakat mendapatkan pinjaman, namun di sisi yang lain ternyata banyak sekali masalah yang timbul sebagai akibat pinjol ini.

Permasalah tersebut antara lain, bunga yang sangat tinggi, penerapan bunga berbunga, penagihan yang tidak pantas, penagihan dilakukan kepada kontak darurat, kontak saudara dan penagihan dilakukan di lokasi kantor konsumen, biaya admin yang tinggi, aplikasi berganti nama dan menghilang di sistem aplikasi, KTP digunakan untuk meminjam di aplikasi lain serta akses penggunaan data pribadi konsumen yang disebarkan.

Bahkan sampai ada kasus seorang Ibu rumah tangga memilih mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, gara -gara ditagih hutangnya oleh penagih hutang pinjol. Tindakan itu dilakukan frustasi dirinya terlilit utang dari puluhan pinjaman online (pinjol) dan satu koperasi.

Ibu dua anak itu diketahui meminjam uang dari 23 aplikasi pinjol dan satu koperasi simpan pinjam di bank plecit. Ia malu dan tak sanggup terus-terusan diteror oleh debt collector dari aplikasi pinjol (merdeka.com, 6 Oktober 2021). Sehingga dengan adanya permasalahan sebagaimana diatas maka perlu dikaji bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen yang menggunakan aplikasi pinjol.

Perlindungan Hukum Konsumen Pinjol

Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah membuat aturan terkait dengan Pinjol di Indonesia.

Peraturan tersebut antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.01/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Resiko Teknologi Informasi pada layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (Abdul Wahid Habibulah, 2022)

Berbagai macam aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata masih belum bisa meredam jumlah kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara aplikasi pinjol terhadap konsumennya. Perlindungan hukum yang ada hukum masih belum mampu untuk mengatur dampak buruk pinjol di Indonesia.

Baca juga: Kebebasan dalam pikiran Friedrich Hegel

Hal yang Perlu Diperhatikan

Pertama

Sampai saat ini tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas terhadap perusahaan pinjol termasuk proses penyelesaian sengketa konsumen pinjol. Bahkan tidak ada keseragaman pengaturan mekanisme penyelesaian pengaduan dan sengketa konsumen ketika terjadi kredit macet.

Meskipun sudah ada Hukum Acara Perdata yang mengatur penyelesaian proses perkara perdata dan POJK yang mengatur penyelesaian secara mediasi untuk konsumen jasa keuangan, namun sampai saat ini peyelesaiannya justru tidak mengikuti ketentuan tersebut. Hal ini dikarenakan rata-rata pokok pinjaman via aplikasi pinjol dibawah 5 (lima) juta rupiah.

Dengan nominal tersebut akan menjadi tidak masuk akal kalua diselesaikan melalui pengadilan, karena biaya administrasi dan biaya operasionalnya bisa lebih besar dari nilai pokok pinjamannya ditambah lagi dengan proses beracara yang memakan waktu berbulan-bulan.

Kalaupun dilarikan ke Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang digagas oleh OJK, sampai saat ini yang mendekati adalah via Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) yang noatabene diperuntukkan konsumen industri perbankan. Kedapannya OJK perlu membuat Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Fintech Indonesia supaya lebih pas dan bisa lebih efektif dan efisien.

Kedua

Kepemilikan perusahaan finansial teknologi oleh pihak asing diizinkan sampai kepemilikan saham 85%. Hal ini sangat menyulitkan bagi OJK untuk melakukan pengawasan serta adanya celah bagi perusahaan pinjol untuk menempatkan server di luar negeri. Seharusnya ada ketentuan standar penyimpanan data konsumen yang harus ditempatkan di dalam negeri.

Ketiga

Peraturan yang ada masih mengizinkan pemberian data kepada pihak ke-3 dengan standar persetujuan elektronik, yang akhirnya memaksa konsumen untuk menyetujui pemberian akses data pribadinya; Ini menjadi celah terjadinya penggunaan data pribadi untuk kepentingan perusahaan pinjol.

Semakin lama, data konsumen tersebar akan beredar kemana¬-mana. Hal ini juga berkaitan erat dengan masalah keempat.

Keempat

Tidak ada jaminan kepastian penghapusan data konsumen pinjol jika sudah lewat dari 5 tahun sejak selesai atau lunasnya pinjaman via aplikasi pinjol tersebut. Akibatnya data dari nasabah atau konsumen aplikasi pinjol tetap akan beredar terus kemana-mana. Seharusnya ada ketentuan standar penghapusan data konsumen periodesasi tertentu.

Aturan perlindungan hukum bagi konsumen pinjol

Mengingat regulasi yang ada saat ini tidak bisa melindungi konsumen pinjol, sehingga semakin banyak pelanggaran yang terjadi, maka kedepannya akan sangat penting untuk mengatur perlindungan hukum bagi konsumen pinjol, sebagai berikut:

1. Akses pengambilan data pribadi konsumen harus dibatasi sesuai dengan kebutuhan scoring pinjaman online, misalnya akses data hanya terbatas pada kamera, microphone dan lokasi sehingga detail data yang boleh diakses dipastikan sejak awal pendaftaran;

2. Harus ada kepastian standar perjanjian elektronik dalam pinjaman online yang paling tidak secara jelas mengatur mengenai setidaknya diatur secara jelas tata cara pinjaman, besar pokok pinjaman dan tenor, biaya administrasi atau biaya lain lain jelas, besaran bunga, skema pembayaran, akses data yang diizinkan, alamat perusahaan dan telpon perusahaan pinjaman online yang jelas dan solusi penyelesaian ketika kredit macet;

3. Perlu diaturnya besaran bunga yang jelas sesuai standar misalnya menghapuskan mekanisme bunga harian, dan tenor masa pinjaman yang singkat, sehingga bunga ditetapkan berdasarkan waktu mingguan atau bulanan dan ada batasan maksimal bunga yang dikenakan;

4. Regulasi harus mengatur tata cara atau standart dalam proses penagihan kredit macet yang sesuai dengan hukum dan perikemanusiaan dan tidak boleh melanggar hak privasi konsumen; dan yang terakhir

5. Perlunya edukasi kepada masyarakat tentang pinjol, supaya mereka menjadi bijak dalam mengajukan pinjaman secara online, untuk menghindari munculnya masalah yang jauh lebih besar di kemudian hari.

Baca juga: Aspek Hukum Hapus Tagih