Pernahkah kalian berpikir tentang mengapa Indonesia sebagai negara agraris tetapi masih impor bahan pangan dari luar negeri? pertanyaan itu cukup mengganggu pikiran akhir-akhir ini. Dengan data yang ditampilkan oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori negara agraria.
Jadi, julukan agraria ini didapatkan oleh Indonesia karena memang sebagian besar penduduk kita bekerja sebagai petani. Lahan pertanian yang luas dan kondisi tanah yang subur sudah semestinya menjadikan negara kita berlimpah bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Lagi pula, negara kita yang luas dan terdiri dari pulau-pulau ini, adalah bukti nyata bahwa kekayaan alam kita tidak akan bisa habis jika dikonsumsi oleh penduduknya sendiri. Tapi kenyataannya, mengapa Indonesia masih kekurangan pasokan bahan pangan untuk warganya sendiri?
Fenomena inilah yang dapat menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai efisiensi, kebijakan pertanian, dan tantangan yang dihadapi perekonomian saat ini.
Fakta Lahan Pertanian Indonesia
Bicara tentang fakta, tentu tidak afdol jika tidak berdasarkan data. Melansir data dari Jurnal Universitas Sebelas Maret yang menyatakan bahwa lahan pertanian di Indonesia semakin menyempit dan profesi petani tidak begitu diminati oleh generasi muda saat ini.
Ada banyak hal yang menjadi faktor mengapa lahan pertanian yang menyempit. Di antaranya yaitu, jumlah penduduk yang semakin meningkat berbanding arah dengan jumlah ketersediaan lahan untuk tempat tinggal.
Di perkotaan contohnya, peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat memaksa kondisi untuk mengubah lahan pertanian menjadi tempat tinggal. Bisa kalian lihat, jarangnya lahan pertanian yang ada di perkotaan. Tidak hanya tempat hunian saja yang menjadikan lahan pertanian menyempit, pembangunan dan modernisasi infrastruktur negara yang melibas habis sawah menjadi jalan Tol dan bangunan lainnya.
Modernisasi tidak akan lepas sebagai penyebab utama penyempitan lahan pertanian, pasalnya saat ini gedung-gedung dan industri seperti pabrik kini menjadi kiblat modernisasi menurut masyarakat Indonesia. Jadi, seharusnya kita sudah menyadari itu dan tidak perlu heran mengapa Indonesia sebagai negara Agraris tetapi impor bahan pangan dari luar negeri. Kan penduduk kita saja sudah tidak tertarik untuk menjaga lahan pertanian dan tidak minat sebagai petani.
Fakta profesi petani sudah tidak diminati
Dilansir pada jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Surabaya tentang alasan mengapa profesi petani dianggap tidak menarik, dijelaskan bahwa ini bisa disebabkan karena stigma yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak. Bahkan, tidak jarang orang tua tidak mengharapkan anak-anaknya menjadi petani dikemudian hari.
Profesi petani kerap dianggap sebagai profesi yang tidak memiliki profit yang besar dan rawan mengalami kerugian karena faktor alam yang tidak bisa diprediksi. Memang tidak bisa disalahkan, jika stigma tersebut wajar saja diberikan oleh orang tua kepada anak, mengingat bertani tidaklah mudah dan tentu niat hati orang tua menginginkan anak tidak mengalami kesusahan perekonomian karena penghasilan yang tidak bisa dipastikan.
Namun, saya juga menemukan fakta yang saya dapatkan secara langsung dari teman-teman yang memiliki latar belakang dari keluarga petani. Saya menanyakan mengapa tidak berniat meneruskan lahan pertanian yang dimiliki oleh keluarga? Jawabannya sungguh tidak dapat saya duga. Yaitu, profesi petani dianggap kurang bergengsi dan tidak memiliki citra yang keren di jaman ini.
Fakta kualitas lahan yang mulai rusak
Intensitas penurunan kualitas lahan pertanian ini disebabkan oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan karena lajunya tingkat pembangunan dan kemajuan teknologi. Dilansir pada dokumen penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional kegiatan yang mendominasi penyebab perusakan dan pencemaran lahan antara lain kegiatan industri, pertambangan dan pembakaran hutan dan atau lahan.
Memang benar, berbagai upaya untuk pengendalian telah dilakukan, tetapi hal ini bersifat belum final karena perubahan yang selalu terjadi. Artinya, ini masuk dalam kategori yang serius untuk segera ditangani guna mencegah semakin parahnya pencemaran lingkungan kita.
Dampak dari fakta tersebut
Fakta-fakta yang telah saya jelaskan sebelumnya, ini yang nantinya menjadikan titik akhir pengambilan kebijakan pemerintah untuk menanggulangi lumbung pangan negara. Dampak yang didapat adalah, pertama semakin meningkatnya infrastruktur yang dibangun dengan memakai lahan pertanian untuk pembangunan tersebut, tentu ini menjadikan lahan pertanian semakin menyempit.
Lahan pertanian menyempit, dan jumlah penduduk yang meningkat, sudah sewajarnya negara kewalahan untuk menyediakan bahan pangan untuk warganya. Jumlah yang berbanding terbalik inilah yang menjadi salah satu unsur utama kurangnya jumlah hasil panen untuk memenuhi kebutuhan pangan negara.
Kedua, dengan fakta yang ada tentang rendahnya minat generasi muda untuk bertani, ini menunjukkan bahwa kebutuhan tidak imbang dengan keinginan. Generasi muda tidak menginginkan menjadi petani, namun generasi muda juga tidak sadar akan kebutuhan pangan ia di masa depan. Artinya, jika jumlah profesi petani semakin tidak diminati, pertanyaannya siapa yang mau menghasilkan padi untuk dikonsumsi? inilah paradoks pola pikir masyarakat kita.
Ketiga, modernisasi tidak bisa mengelak sebagai penyebab utama rusaknya kualitas alam. Namun modernisasi ada karena menjawab kebutuhan masyarakat. Ini sifatnya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan pola pikirnya. Pola pikir yang masih berkiblat pada modernisasi tentu akan mengesampingkan sesuatu yang dianggap jauh dari modern. Salah satunya yaitu sektor pertanian.
Refleksi diri
Pemerintah melakukan impor bahan pangan bukanlah hal yang semena-mena tanpa memiliki pertimbangan. Mengingat fakta-fakta yang ada, tentu ini adalah dampak yang tidak disebabkan oleh tindakan instan. Saya secara pribadi percaya bahwa, fakta lapangan yang ada saat ini hingga menyebabkan Indonesia mengimpor bahan pangan dari luar negeri tentu ini disebabkan konsisten masyarakat kita yang kompak tidak menjaga keseimbangan tatanan hidup dalam suatu negara.
Saya mengatakan demikian, karena sependek pengetahuan saya dari data yang saya dapatkan tentu ini adalah sikap yang bisa dipilih. Artinya, ini bukan satu-satunya pilihan yang menyebabkan masyarakat terpaksa memilih melakukan tindakan yang merugikan keseimbangan tahan pangan negara kita di masa depan.
***
Misal, kita bisa memilih untuk mempertimbangkan jumlah angka kelahiran dengan mengikuti program keluarga berencana. Juga, kita bisa mengubah stigma individu akan modernisasi yang tergantung pada teknologi yang tidak ramah lingkungan. Apalagi tentang menjaga ekosistem lingkungan. Meski terlihat sepele, nyatanya di daerah saya tinggal, kini menjadi daerah yang tidak bisa menghasilkan hasil panen yang memuaskan.
Ya karena, hutan yang ada di daerah daratan yang lebih tinggi dari desa saya, kini telah berjajar pabrik yang setiap harinya mengeluarkan asap dan polusi. Ini tentu merusak iklim lingkungan, menyebabkan banjir dan berakhir gagal panen setiap tahunnya. Artinya apa? bahkan desa yang sebelumnya menjadi lumbung padi negara, kini tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Ini menjadi beban ganda bagi negara. Suplay beras menipis karena gagal panen, dan menyebabkan kurangnya ketersediaan pangan bagi warga sehingga negara dengan berat hati mengimpor beras dari negara lain. Kegagalan panen disebabkan oleh iklim yang tidak tentu, kondisi air yang kurang baik, dan kualitas tanah yang buruk, menjadikan unsur utama dari gagal panen. Tentu ini akan mengakibatkan beras menjadi langka dan harga beras lokal menjadi lebih mahal dari beras impor.
Keluhan iklim yang tidak tentu akibat kerusakan lingkungan menjadikan generasi muda memilih untuk berprofesi dengan gaji yang lebih pasti. Ini seperti lingkaran yang saling memakan ekornya sendiri. Menciptakan stigma modernisasi, merealisasikan modernisasi, merusak alam akibat kebutuhan modernisasi, lumbung pangan mulai mengering, impor bahan pangan dari luar negeri, kemudian menyalahkan pemerintah. Ini paradoks yang sebenarnya.
Penutup
Ini hanyalah opini yang mungkin bisa menjadi jawaban dari pertanyaan teman-teman sekalian tentang mengapa Indonesia mengimpor bahan pangan. Jika ada yang kurang dari opini saya, kalian bisa berkomentar dan memberikan tambahan informasi yang membangun kesadaran masyarakat. Sekian opini tentang Indonesia impor bahan pangan dari saya. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di artikel selanjutnya.