Masa pemilu merupakan masa yang prihatin. Demi mengumpulkan suara rakyat sesuai dengan asas-asas pemilu, seluruh anggota penyelenggara dituntut untuk melaksanakan proses pemungutan suara dengan sempurna. Bekerja dari pagi hingga pagi, mengawasi berjalannya voting dan menghitung suara rakyat yang terkumpul. Di balik cepatnya suara yang masuk ke dalam quick count, tentunya ada anggota-anggota KPPS yang bekerja sangat keras dalam waktu yang sempit. Tidak heran, hanya untuk pekerjaan yang berlangsung selama beberapa hari, anggota petugas pemilu mendapat kompensasi yang terbilang besar.
Namun apakah kompensasi itu sepadan dengan risiko yang menimpan kawan-kawan KPPS saat ini?
Baru-baru ini dikabarkan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari (19/2) dalam jumpa pers di kantor Kementrian Kesehatan bahwa sekitar 71 anggota petugas pemilu meninggal dunia, sementara 4.567 orang jatuh sakit. Kemudian tidak berselang lama, jumlah bertambah menjadi 84 orang. Dikatakan jumlah kematian tahun ini jauh lebih rendah dari pemilu tahun 2019 yang mencapai sekitar 500 orang. Tapi terlalu tidak punya hati rasanya untuk mengucapkan jumlah kematian, sesedikit apapun, merupakan hal yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Seperti yang dikatakan Menkes RI Budi Gunadi Sadikin, hilangnya satu nyawa dalam pemilu itu saja sudah terlalu berharga. Kematian petugas pemilu dalam proses pemungutan suara menunjukkan adanya kecacatan dalam sistem pemilu kita. Tidak peduli jumlah atau kerelaan mereka untuk Tanah Air, nyawa rakyat dalam proses pemilu tidak seharusnya terenggut dalam setiap proses pemilihan umum.
PENYEBAB KEMATIAN PARA PETUGAS PEMILU
Ada dua hal dari penuturan Menkes RI sebagai penyebab utama kematian dalam jajaran petugas pemilu tahun ini, antara lain;
-
Banyak petugas yang berisiko tinggi.
Disinyalir dari hasil skrining kesehatan petugas pemilu, 400.000 orang petugas dimasukkan dalam kategori berisiko tinggi. Hal ini relevan dengan fakta bahwa faktor terbesar kematian petugas adalah penyakit jantung, disusul dengan hipertensi. Meskipun berisiko tinggi, entah mengapa empat ratus ribu orang tersebut masih bisa lolos dan menjadi petugas. Sangat mungkin hal ini terjadi karena kekurangan warga yang sehat dan berkenan untuk menjadi petugas pemilu pada beberapa daerah.Namun mengapa hal tersebut terjadi? Mungkin karena banyak warga mengantisipasi poin kedua berikut ini.
-
Beban kerja melampaui batas wajar.
Kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan itu disusul dengan beban kerja yang berat membuat potensi adanya korban semakin besar. Pengawas tentunya sudah harus mempersiapkan lokasi TPS dari pagi hari, mengawasi pemungutan suara dari pagi hingga siang, dan langsung memulai penghitungan suara yang dapat berlangsung hingga pagi hari berikutnya. Petugas pemilu tetap berada di lokasi hingga penghitungan suara usai sehingga sangat mungkin mengalami kurang istirahat. Maka dari itu jumlah petugas yang jatuh sakit menjadi banyak.
PENGARUH PADA KEMUNGKINAN PEMILU MENDATANG
Mungkin ada beberapa dari pembaca sekalian yang pernah membaca tulisan saya mengenai apatisme politik dalam generasi muda. Saya mengatakan bahwa mulai banyak fenomena yang menunjukkan ketidakacuhan generasi muda pada kancah politik saat ini. Faktor utama dari apatisme politik adalah kekecewaan pada kondisi politik yang berlangsung. Bisa jadi, tragedi ini menjadi penyebab rakyat menjadi semakin enggan berpartisipasi.
Rakyat tentu sudah memahami bahwa pekerjaan sebagai anggota KPPS dapat dibilang berat dan melelahkan. Tentunya fakta bahwa ada nyawa yang terenggut dalam pemungutan suara akan membuat rakyat merasa khawatir akan kesehatan mereka sendiri. Kompensasi hingga jutaan rupiah pun tidak berharga kalau nyawa taruhannya. Sangat mungkin warga jadi enggan untuk mencalonkan diri sebagai anggota KPPS pada pemilu berikutnya.
Dalam RT saya, saya sudah menemukan banyak warga yang tidak ingin menjadi pengawas sehingga terjadi kekosongan, termasuk saya sendiri. Setelah mendengar berita mengenai kematian petugas pemilu, saya mengerti mengapa penyebabnya. Di tahun-tahun mendatang sangat mungkin akan terjadi lebih banyak kasus seperti ini.
Bagaimana kita dapat mengatakan negara kita sebagai negara yang cinta demokrasi bila sistem demokrasi di Negeri kita saja masih memakan korban?
PERBAIKAN APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Demi menjaga partisipasi publik dalam politik Nasional, Negara harus memikirkan bagaimana caranya meminimalisir kerugian yang diderita oleh rakyat. Santunan tidak berguna apabila nyawa sudah tiada. Maka dari itu ada beberapa hal yang perlu dijadikan evaluasi:
-
-
Memperingan pekerjaan petugas pemilu dengan teknologi.
Zaman semakin canggih, pantasnya kita menggunakan bantuan teknologi untuk sesuatu yang membantu rakyat, tidak hanya untuk mencurangi hak cipta saja. Menginginkan hasil dengan waktu yang terbilang singkat harus dibarengi dengan sistem dan tenaga yang memadai. Kemajuan teknologi dapat membantu proses penghitungan suara, bahkan akses pemungutan suara kepada rakyat.Tentunya usulan ini tidak dapat dikatakan seenak jidat karena masih banyak wilayah dan bagian dari rakyat Indonesia yang belum tersentuh kemajuan teknologi dan informasi. Maka dari itu sebelum adanya implementasi sistem, lima tahun ke depan harus difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan dan literasi rakyat Indonesia agar dapat dipersiapkan untuk sistem yang lebih baik. Implementasi teknologi pun sebaiknya dilakukan dengan beberapa pendekatan yang memperhatikan situasi yang berbeda-beda.
-
Antisipasi kesehatan, keamanan, dan keselamatan kerja yang lebih ketat.
Skrining kesehatan pun harus diperketat lagi dan memberikan pengertian yang baik kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya hal yang serupa. Apabila ingin memberikan kesempatan kepada penduduk dengan riwayat kesehatan yang berisiko, hendaknya juga menyediakan tim tenaga kesehatan on-site untuk memantau dan memberikan bantuan pertama bila dibutuhkan.
-
REFERENSI:
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20240220094209-33-515884/kemenkes-ungkap-penyebab-banyak-petugas-kpps-meninggal
https://suarakreatif.com/semua-saja-korupsi-penyebab-apatisme-politik-generasi-muda/