Budaya di Tengah Modernisasi | Pernahkah kalian merasa bahwa generasi muda saat ini, tidak begitu mengenal warisan budaya leluhur dan bahkan tidak begitu tertarik untuk mempelajarinya. Ini juga sebenarnya saya alami karena lebih menyukai budaya luar dari pada budaya lokal sendiri.
Berawal dari pernyataan Bapak Presiden Jokowi, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara besar dengan ragam suku mencapai 714 suku, termasuk suku Dayak yang memiliki 406 subsuku di dalamnya. Penyataan ini disampaikan pada saat peresmian pembukaan Bahaupm Bide Bahana Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) yang diselenggarakan di Rumah Adat Radakng, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada Selasa, 29 November 2022.
Pernyataan Bapak Presiden ini menjadikan saya berpikir, mengapa di era yang serba mudah mengakses informasi tetapi pengetahuan budaya lokal sangat kurang bagi generasi kami? ini yang menjadikan saya tertarik untuk mengurai pikiran saya menjadi opini yang barang kali bisa menjadikan pembaca juga menyadarinya.
Modernisasi sebagai Tantangan dan Peluang
Bicara tentang tantangan atau peluang sepertinya ini akan saya bagi menjadi dua bagian. Pertama, modernisasi menjadi tantang bagi budaya lokal. Saya bisa mengatakan ini sebagai tantangan karena nyatanya modernisasi sangat erat kaitannya dengan kemudahan, termasuk kemudahan masuknya budaya luar. Seperti misalnya, K-POP yang saat ini sudah berpadu padan dengan budaya lokal.
Kemudahan masuknya budaya luar inilah yang menjadikan rasa keingintahuan generasi muda tertantang. Seperti saya pribadi, saya lebih tertantang mempelajari bahasa Korea dibandingkan belajar bahasa sunda, dayak, atau melayu. Ini karena kami merasa budaya asing lebih menarik dan lebih mengikuti trendi dibanding dengan budaya lokal.
Kedua, modernisasi sebagai peluang. Bicara tentang kemudahan masuknya budaya luar ini juga berbanding imbang dengan kemudahannya mengakses serta menyebarluaskan budaya lokal di dunia yang serba modern ini. Misalnya, saya tidak perlu datang ke Bali untuk sekedar ingin tahu bagaimana tarian kecak, bagaimana filosofinya dan lain sebagainya.
Peluang yang sangat menjanjikan ini, bisa menjadi kesempatan kita untuk memperkenalkan budaya lokal kepada dunia luar dan itu lebih baik sebenarnya dibanding menjadi konsumen budaya asing dari luar. Saya menyadari kedua hal tersebut dan ini kembali pada peminatan masing-masing.
Mengapa budaya lokal dinilai kurang menarik?
Pada segmen ini, saya akan menyampaikan pernyataan ini yang berlandasan diri saya sendiri sebagai objek penelitiannya. Saya bertanya pada diri sendiri, tentang mengapa saya kurang tertarik pada budaya lokal? ternyata jawaban yang saya temukan dalam diri saya, ada beberapa aspek yang menimbulkan rasa tidak tertarik, di antaranya:
1. Ketidakpahaman dan kurangnya pendidikan.
Pada tahun 2006 saya mulai masuk ke Sekolah Dasar, sampai pada tahun 2018 saya menyelesaikan Sekolah Menengah Atas. Pada proses saya mengenyam pendidikan di sekolah saya hanya mendapat pengetahuan dari gambar buku LKS saja tentang macam-macam tarian lokal.
Dan tentu saya tidak mendapatkan penjelasan apa yang menarik dari tarian itu, yang memicu saya tertarik untuk belajar lebih lanjut. Jadi, pendidikan seni dan budaya pada saat itu hanya berhenti pada sekedar tahu. Tidak ada kelanjutan dari praktik, belajar tarian, dan memahami filosofi setiap tarian. Ini mengindikasikan sejak awal, kami tidak diajak untuk tertarik dan belajar lebih lanjut tentang seni dan budaya Indonesia.
2. Pengaruh media global
Selepas masa sekolah yang tidak dibekali fondasi yang cukup kuat untuk mempertahankan budaya lokal sebagai identitas, akhirnya generasi muda lebih mudah terpengaruh oleh media global. Seperti misalnya, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya hidup dan lain sebagainya yang dianggap lebih menarik.
Sebenarnya, banyak juga para penggerak fashion lokal yang berjuang untuk menyuarakan pakaian tradisional yang sudah mengusung konsep modern. Tetapi, seberapa banyak orang yang tertarik akan hal itu? ini karena, fondasi mencintai budaya lokal tidak dibangun sejak dulu.
3. Stigma Ketinggalan Jaman
Pandangan terhadap budaya lokal memang susah dipisahkan dengan stigma ketinggalan zaman. Ini karena kurangnya kreativitas mengolah budaya lama dengan yang baru. Budaya lama tidak serta merta mempertahankan unsur lama. Musti ada pembaruan namun masih mempertahankan nilai filosofi yang ada.
Tidak harus mengubah, seperti misalnya tarian leak, kecak, atau reog Ponorogo. Tarian-tarian yang mengandung arti filosofis tidak perlu diubah. Melainkan, bisa dipublikasikan dengan gaya yang sinematik sesuai jamannya. meski tidak banyak yang menyadarinya, cara publikasi juga mempengaruhi ketertarikan seseorang untuk tahu lebih tentang budaya tersebut melalui perangkat digital mereka.
Jika dalam pakaian, saya rasa sudah banyak fashion lokal yang mengusung nilai budaya dan dibalut dengan konsep modern. ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena dunia fashion telah memberi jawaban yang cukup memuaskan untuk sekedar gaya fomo agar terlihat stylish namun tetap nyentrik.
Apa yang bisa kita lakukan?
Sesuai dengan tema yang kita bahas adalah modernisasi, maka saya akan menyampaikan satu cara modernisasi yang relevan dengan pembahasan kita. Publikasikan budaya Indonesia dengan gaya yang fresh dan menarik. Terlihat sederhana dan sepele, tetapi cara ini saya anggap lebih efektif untuk mengajak generasi muda, dan paling tidak tahu jika kita memiliki seni budaya yang indah.
Maka, bisa dikatakan sasaran saat ini tidak muluk-muluk. Cukup memberikan informasi terkait budaya lokal, buat mereka tertarik, mau mempelajari dan percaya diri menyampaikan budaya lokal dengan ekspresi hingga menciptakan identitas dengan tahu filosofis di dalamnya.
Sebenarnya, menurut informasi tentang peminatan Gen Z, dikatakan bahwa Gen Z lebih mudah ingin tahu, penasaran dan senang mengeksplorasi. Maka ini kesempatan yang besar untuk mengembalikan identitas bangsa kita, dengan menciptakan identitas pada penduduknya.
Sederhana bukan? apa kamu sudah tertarik untuk mengembalikan identitas kita?
Penutup
Opini ini hanya ingin mengajak pembaca untuk memikirkan cara-cara praktis dan inspiratif untuk merawat akar budaya di tengah modernisasi, mendorong refleksi, dan tindakan positif dalam menjaga warisan budaya kita. Bukan sedang menggurui, ini hanya sebagai refleksi sejenak.
Mungkin banyak di antara kalian yang memiliki banyak ide untuk mempertahankan budaya Indonesia dan menciptakan identitas yang kuat pada masyarakat dan negara. Jadi, kalian bisa sharing pendapat kalian di komentar. Terima kasih, sekian opini tentang Merawat Akar Budaya di Tengah Modernisasi dari saya. Sampai jumpa di opini selanjutnya!
Sumber:
Kementerian Sekretariat Negara RI