Matinya Kepakaran | Pada masa menjelang pemilu diselenggarakan, sebagian dari kalian pasti tidak asing dengan film dokumenter yang berjudul Dirty Vote. Ada berbagai macam reaksi dari para penonton. Ada yang merasa bahwa ini adalah upaya untuk menggagalkan salah satu paslon, ada yang menganggap bahwa ini informasi yang bermanfaat.
Namun, saya sedang tidak ingin berkomentar tentang pemilunya. Opini kali ini, saya tujukan pada sebuah kondisi yang lebih miris dibanding isi film dokumenter tersebut. Yaitu, hilangnya kepercayaan publik terhadap pada guru besar, para akademisi dan juga para ahli.
Sekilas tentang isi Dirty Vote
Dirty Vote merupakan sebuah film dokumenter yang tidak jauh berbeda dari film dokumenter pada pemilu tahun 2019, yaitu Sexy Killer. Film dokumenter ini memiliki tujuan yang sama, dan disutradarai oleh orang yang sama. Tujuannya tidak kurang, tidak lebih untuk menyadarkan masyarakat tentang data yang menunjukkan fakta apa yang sebenarnya sedang terjadi pada sistem demokrasi kita.
Isinya tidak lebih dari sebuah penampilan data yang menunjukkan fakta bahwa pemilu kali ini dianggap ada indikasi kecurangan. Menurut para ahli, Jokowi dinilai telah melakukan pelanggaran berat atas ketidaksopanannya telah melangkahi demokrasi yang menjadi prinsip suci bangsa kita.
Penilaian ini, dilandaskan dari kebijakan MK meloloskan Gibran sebagai Cawapres Prabowo. Yang mana, ketua MK tersebut merupakan saudara ipar Bapak Presiden Jokowi. Selain itu, para pakar menilai bahwa adanya indikasi tidak netral oleh para pejabat untuk memenangkan salah satu paslon.
Itu adalah salah satu yang menyebabkan pada guru besar, para ahli dan para akademisi turun tangan untuk ikut serta dalam menegakkan demokrasi yang dianggap sudah cacat. Namun tulisan opini ini hanya berfokus pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada para ahli, yang kemudian saya sebut dengan matinya kepakaran.
Siapa sih pakar/ahli yang dimaksud?
Film Dokumenter Dirty Vote ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara, di antaranya Zainal Arifin dosen Hukum Tata Negara UGM, Bivitri Susanti seorang akademisi dan ahli Hukum Tata Negara, dan Feri Amsari merupakan pakar hukum tata negara, aktivis hukum, dosen, dan akademisi Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Setelah saya mencari tahu dari beberapa sumber di media masa, profil para ahli ini menunjukkan kapasitas dan kemampuan dalam bidang tersebut. Para ahli hukum tata negara, mestinya tidak akan berbicara tanpa adanya fakta dan kajian yang lebih lanjut akan hal tersebut. Sederhananya, para pakar ini memiliki kemampuan serta kapasitas yang mumpuni pada bidang ini.
Apa urgensinya?
Mempercayai seorang pakar atau ahli itu sama halnya membangun pola pikir yang berprinsip saat mengambil sebuah keputusan. Karena pengambilan keputusan ini akan melalui kajian data dan informasi yang valid serta menampilkan fakta. Nah, konsep berpikir ini belum dimiliki oleh seluruh masyarakat kita, artinya kita membutuhkan seorang yang ahli untuk kita percaya guna mencapai taraf yang sempurna.
Ya kalau kita, masyarakat yang awam dan sudah tidak mempercayai para pakar atau ahli, tentu ini akan berdampak buruk di kemudian hari. Pasalnya, ketidakpercayaan inilah yang akan membahayakan demokrasi ke depannya. Mengapa bahaya?
Karena ini akan berpotensi melahirkan pemimpin yang mampu memprovokasi masyarakat untuk mendapat sebuah kekuasaan yang mutlak. Ini juga yang menjadi salah satu penyebab, masyarakat tuli dengan kebenaran dan fakta.
Padahal kenyataannya, peran pakar dalam pemerintahan memiliki peran yang penting. Terutama saat mengambil keputusan dalam kebijakan pemerintah.
Penyebab matinya kepakaran
Ada sebuah istilah idolisasi figur. Jadi ini seperti mengidolakan tokohnya dibanding gagasannya. Nah ini yang sedang terjadi pada pola pikir masyarakat kita. Terlebih, citra tokoh ini mudah dibangun melalui media sosial seperti TikTok, Instagram dan lain-lainnya.

Bisa dilihat dari data yang saya tampilkan, bahwa mayoritas pendudukan Indonesia didominasi oleh Gen Z yang mana generasi ini bergerak aktif di media sosial. Untuk membangun citra pemimpin yang diidolakan tidak begitu susah. Nah, fenomena ini bisa disebut dengan idolisasi, yang mana pertarungan capres dan cawapres diperlakukan layaknya kontestan idola.
Sedangkan, seorang yang mengidolakan tokoh biasanya cenderung mengabaikan fakta dan tidak menghiraukan penjelasan yang ada hingga menolak bukti yang sudah terbukti. Artinya, media sosial yang sangat berperan penting menciptakan konsep berpikir masyarakat kita untuk meng-idolisasi tokoh capres dan cawapresnya.
Data ini diperkuat dengan hasil data dari GoodStats yang mengatakan bahwa usia mayoritas pengguna media sosial adalah 18-35 tahun. Artinya, memang Gen Z yang menjadi sasaran utama. Melihat dari data yang ada.
Kesimpulan
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap guru besar, akademisi, dan ahli dapat disebut sebagai “matinya kepakaran.” Masyarakat yang tidak mempercayai para ahli berpotensi membahayakan demokrasi karena kurangnya pemahaman terhadap fakta dan kebenaran.
Idolisasi tokoh politik melalui media sosial, terutama oleh generasi Z, dapat mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk mengkritisi dan menilai kebijakan secara objektif. Fenomena ini disebut sebagai “idolisasi figur.”
Media sosial memainkan peran penting dalam membangun citra tokoh politik dan memengaruhi pola pikir masyarakat. Generasi Z, sebagai mayoritas pengguna media sosial, cenderung lebih terpengaruh oleh idolisasi tokoh politik.
Adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap ahli dapat berdampak negatif pada pemilihan pemimpin di masa depan, karena masyarakat dapat lebih mudah terprovokasi dan kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sekian opini tentang Matinya Kepakaran dari saya, sampai jumpa di opini berikutnya!