Menyuarakan Bisu: Mengungkap Realitas Kekerasan Seksual

iim maya sofa
Menyuarakan Bisu: Mengungkap Realitas Kekerasan Seksual

Mengungkap Realitas Kekerasan Seksual. Kekerasan seksual merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi bagi semua kalangan di berbagai belahan dunia. Meski hingga sekarang kekerasan seksual sering kali dianggap sebagai topik yang sulit dibicarakan, tetapi saya tetap ingin menyuarkan meskipun saya hanya seperkoma persen dari salah satu korban kekerasan seksual. 

Alih-alih membahas tentang tips dan trik mencegahnya, saya akan memberikan data terkini terkait jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia, hingga langkah utama yang perlu di ambil tanpa harus meributkan peran pemerintah dalam menangani kasus ini.

Menyuarakan Bisu: Mengungkap Realitas Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual mencakup berbagai tindakan yang melibatkan pemaksaan atau perlindungan seksual terhadap seseorang tanpa persetujuan mereka. Misalnya seperti ajakan berhubungan badan secara paksa, membahas yang mengarahkan tindakan seksual sepihak, mengganggu privasi seksual seseorang, menyentuh atau meraba bagian sensitif seseorang, dan segala bentuk yang tidak diinginkan tentang seksual.

Ini bisa mencakup pemahaman verbal, pemahaman fisik, atau pemaksaan seksual dalam berbagai bentuk. Korbannya bisa perempuan, laki-laki, dewasa, lansia atau bahkan anak-anak. Menggambarkan realitas kekerasan seksual menjadi langkah awal yang krusial dalam membuka dialog terbuka.

Pelaku dan Korban

 

Menyyuarakan Bisu: Mengungkap Realitas Kekerasan Seksual

Pada data yang saya dapatkan dari halaman website resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak ( kekerasan.kemenpppa.go.id ), kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada tahun 2023 sebanyak 29.884 kasus, dengan presentasi 6.332 korban berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 26.161 merupakan korban dengan jenis kelamin perempuan. Artinya, korban menetap oleh perempuan.

Kemudian, spesifikasinya lebih lanjut adalah untuk pelaku, menurut data yang dilaporkan pada KPPA, pelaku didominasi oleh laki-laki dengan kategori usia dewasa. Sedangkan untuk kategori korban, didominasi oleh perempuan dengan kategori usia anak-anak. 

Menyyuarakan Bisu: Mengungkap Realitas Kekerasan Seksual

Berikut adalah data yang saya dapat per 5 Januari 2024, dari website resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang menunjukkan bahwa, pada tahun 2024 sudah dilaporkan kasus kekerasan seksual sebanyak 314 kasus. 2024 baru saja lima hari, dan kasus kekerasan seksual sudah melonjak sebanyak 314 kasus. 

Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kasus ini didominasi oleh pelaku berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia dewasa. Sedangkan korban didominasi oleh perempuan dengan rentang usia anak-anak. Dalam data tersebut juga dijelaskan dengan presentase jumlah, yaitu korban laki-laki sebanyak 74 korban dari 314 kasus. Sedangkan 281 korban lainnya adalah perempuan.

Apa Penyebabnya dan Mengapa? 

Ada begitu banyak faktor penyebab mengapa terjadi kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Meski tidak bisa dipungkiri, bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Namun, menurut data yang ada, menyatakan bahwa korban didominasi oleh anak perempuan.

Kutipan dari RS Tugurejo Jawa Tengah ( rstugurejo.jatengprov.go.id ), menjelaskan bahwa penyebab adanya kekerasan seksual di antaranya adalah budaya patriarki, ketidakadilan gender, kualitas hidup yang rendah, pola asuh yang salah, kemiskinan, tayangan media yang tidak mendidik, dan gangguan psikologis jiwa.

Alasan-alasan tersebut menurut saya sudah sangat jelas untuk kasus dengan kategori darurat ini.Pasalnya, tidak jarang ada pekaku yang mengaku gila sehingga tidak dikenakan hukuman yang seharusnya. Memang benar, setiap proses di pengadilan akan dilakukan pengecekan kejiwaan, tapi ini cukup membuat geram jika pelaku masih bisa berkeliaran dan mengancam orang lain.

Ini adalah PR besar untuk pemerintah, karena pemerintah di sini bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga mencakup peran edukasi kepada masyarakat.Karena, ini termasuk dalam bagian perlindungan generasi emas yang akan datang. Bayangkan jika kasus ini tidak terselesaikan atau tidak dicegah bagaimana seharusnya, akan menimbulkan ribuan korban yang bisa saja mengalami gangguan kesehatan mental dan sebagainya.

Lalu Bagaimana?

Ini bukanlah satu-satunya tugas pemerintah, ini adalah tugas bagi kita semua. Pencegahan kekerasan seksual bisa kita lakukan sejak dini, meskipun kita tidak bisa menjamin kekerasan seksual akan tetap terjadi, atau tidak. Terlepas dari jenis kelamin korban dan pelaku, atau tingkat usia korban dan pelaku, kekerasan seksual tetaplah kejahatan.

Siapa pun yang mampu menyuarakan haknya, artinya siapa pun juga memiliki kewajiban agar terbuka untuk menyelesaikan kasus ini bersama-sama. Terlepas dari saran-saran yang berseliweran di internet, tampaknya kita harus fokus pada cara mengedukasi masyarakat dan terutama kepada anak-anak.

Anak-anak sering menjadi sasaran empuk para pelaku kekerasan seksual, karena mereka memiliki kemampuan pemahaman yang rendah akan kekerasan seksual. Anak-anak tentu lebih lemah dalam tenaga, emosi dan kekuatan mentalnya dibandingkan dengan orang dewasa. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa mengedukasi anak agar tidak takut untuk melawan jika berada pada kondisi yang mengancam keselamatannya.

Masalahnya, sebagian besar masyarakat Indonesia sering menganggap bahwa pembicaraan perihal pendidikan seksual adalah hal yang tabu. Orang dewasa beranggapan bahwa anak-anak belum cukup umur untuk diberi pembelajaran akan hal itu. Nyatanya, tuntutan zaman mengharuskan anak-anak sekarang tahu dan paham, apakah yang ia alami merupakan kejahatan atau bukan.

Takut dan Trauma

Kebanyakan anak-anak takut untuk menyuarakan apa yang ia alami, karena menurut mereka orang tua atau orang yang lebih dewasa darinya, memiliki hak sepenuhnya atas tubuhnya. Anak-anak tidak akan paham apakah mereka alami bisa dilaporkan atau tidak. Justru sikap anak yang seperti ini menjadikan generasi yang traumatik dan bahkan membawa trauma itu hingga usia dewasa.

Tidak jarang, para pelaku kekerasan seksual ini menyalahkan masa lalu dan rasa trauma yang dulu pernah dialami. Artinya, menganggap pendidikan seks kepada anak adalah hal yang tabu, sama halnya kita akan membiarkan lingkaran setan ini terus berputar dan menciptakan pusaran yang semakin kuat.

Paling tidak, kita membentuk generasi yang bisa menangani dan mengambil tindakan tentang apa yang sedang dialami. Bukan generasi yang memilih diam, bungkam dan berakhir melakukan hal yang sama di kemudian hari. Inilah upaya memutus salah satu rantai hubungan antara alasan klise dengan tindakan kriminal.

Upaya Pemerintah

Upaya pemerintah memang sudah ditunjukkan dengan cukup baik melalui peraturan-peraturan-undangan. Namun, pertanyaannya berapa dari sekian juta penduduk Indonesia, yang paham akan hukum? Berapa banyak, dari sekian juta penduduk Indonesia yang sadar bahwa ia berhak mendapat perlindungan.

Nyatanya, Undang-Undang hanyalah berakhir sebagai aturan yang tertulis. Bisa jadi, para pelaku hanya sekedar tahu bahwa itu adalah tindakan yang salah, namun pelaku masih minim kesadaran bahwa apa yang dilakukannya sangat merugikan korban.

Artinya, kondisi masyarakat seperti ini hanya membutuhkan fasilitas secara aktif dan tidak pasif seperti aturan tertulis. Respon pihak yang berwajib juga perlu benar-benar memberikan pernyataan bahwa mereka berada di pihak korban. Alih-alih menyalahkan dan mencari sebab mengungkapkan seksi, sebaiknya berilah pernyataan bahwa pihak yang berwajib siap menjadi garda terdepat atas pengaduan korban.

Pemerintah juga menyediakan layanan pengaduan yang cukup baik untuk menampilkan data akurat, pertanyaannya apakah pemerintah bisa menangani seluruh kasus yang terlapor dan menyelesaikannya dengan cepat? Artinya, ini adalah beban ganda yang dialami pemerintah. Sudah sewajarnya, jika proses hukum akan kejahatan seksual kerap mengalami proses yang panjang hingga selesai.

Kesimpulan

Artinya, kita perlu menyadari bahwa kasus kekerasan seksual adalah tugas kita bersama untuk menyelesaikan dan mengakhiri lingkaran kejahatan ini. Bukan hanya kita sendiri, dan bahkan bukan pemerintah sendiri yang memiliki kewajiban ini. Setidaknya, pendidikanlah anak-anak dengan pendidikan dasar terkait seksual.

Jika belum berkeluarga, mulailah dari diri sendiri untuk membuka suara kepada seseorang yang dipercaya untuk tetap berada dipihak kita. Bukan berarti mencari pembelaan, sebagai seseorang yang pernah mengalami hal tersebut, hal yang pertama kita anggap sebagai korban adalah sikap pembelaan bahwa itu bukanlah salah kita. Sikap tersebut, menjadikan kita tetap percaya diri dan terhindar dari sikap teraumatik sepanjang masa.

Alih-alih mencari alasan, dan menyalahkan salah satu pihak, akan lebih baik jika kita saling menjaga dan memberi perlindungan kepada sesama dan lebih khusus kepada korban. Mencari tahu penyebab kekerasan seksual, akan memperlambat proses penyembuhan diri dan jiwa. Terlebih lagi hanya berakhir menyalahkan korban karena pakaian, cara berjalan, dan sikap menyalahkan lainnya.

Kejahatan murni timbul karena keinginan pelaku yang mengambil kesempatan kepada orang yang lebih lemah darinya. Sederhananya, kejahatan tetaplah tindakan jahat dari seorang penjahat. Tidak menutup kemungkinan latar belakang pelaku, kita harus tetap berani menyuarakan apa yang mengganggu kenyamanan hidup.

Karena kenyamanan hidup merupakan hak seluruh manusia. Sekian opini tentang mengungkap realitas kekerasan seksual kali ini, semoga kita menjadi pribadi yang kuat dari negara yang kuat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *