Thrifting, sebuah istilah yang pasti dikenal oleh kalangan anak muda. Thrifting merupakan sebuah kegiatan belanja baju bekas. Bisa datangkan dari luar negeri, atau barang bekas lokal. Biasanya barang-barang ini sudah melalui semacam penilaian layak pakai, kemudian dijual kembali.
Peminatnya pun tak kalah banyak, bahkan para generasi muda lebih memilih membeli baju thrifting, dengan alasan mengurangi sampah limbah pakaian. Saya, merupakan salah satu penggemar thrifting dan beberapa kali memilih untuk membeli baju thrifting karena model yang unik dan jarang di Indonesia.
Thrifting: Tren Kontroversial Impor Sampah ke Indonesia
Sebelum berbicara tentang dampak thrifting, maka perlu adanya pembahasan terkait konteks impor sampah. Maksudnya adalah, bagaimana legalitas barang impor di Indonesia, kemudian mengapa disebut dengan impor sampah. Berikut pembahasannya:
Konteks Impor Sampah
Pertama, akan saya bahas tentang legalitas import barang bekas ke Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor, dijelaskan tentang barang bekas yang diperbolehkan impor.
Dalam peraturan menteri tersebut, telah ditetapkan bahwa barang impor yang dilarang di antaranya, karung bekas dan termasuk pakaian bekas. Jika ada yang terbukti melanggar, maka akan dikenakan sanksi pidana 5 tahun, atau denda sampai 5 miliar rupiah.
Artinya, terkait impor barang bekas, sudah benar-benar dilarang dan sudah ditetapkan peraturannya. Maka, dengan begitu tidak ada alasan lagi untuk memberikan dukungan kepada penjual yang mengimpor barang bekas dari luar negeri, dan ditampung di Indonesia. Ingat, yang dilarang adalah kegiatan import barang bekasnya, bukan kegiatan thrifting ya..
Dampak yang Diperdebatkan
Adanya sebuah aturan yang melarang impor barang bekas, sudah pasti ada sebuah pertimbangan panjang yang telah dilakukan oleh pemerintah. Sebagian orang beranggapan bahwa tren thrifting ini menjadi solusi untuk hemat tetapi tetap bisa tampil trendi. Dengan mengeluarkan uang lebih sedikit dari biasanya, pembeli tetap bisa mendapatkan barang bermerek dan dianggap berkualitas.
Sedangkan, di sisi lain muncullah tantang baru yang mana, ketika thrifting menjadi tren fashion maka ini mengancam produk lokal yang sedang berusaha menjadi brand slow fashion di Indonesia. Ini sama saja menjadi bumerang bagi kita.
Tantangan lainnya muncul di sektor lingkungan. Bicara tentang merek lokal, banyak di antara merek lokal yang sedang berlomba-lomba untuk mengubah cara pandang fashion menjadi lebih ramah lingkungan, alih-alih itu ada pihak yang justru berlomba-lomba impor pakaian bekas yang sudah dianggap limbah di negara lain.
Meski begitu, ada beberapa kalangan yang menyatakan diri bahwa setuju dengan adanya tren baju thrifting. Alasannya, agar tidak menambah sampah tekstil di bumi. Pertanyaanya, lalu apakah kamu setuju untuk mendatangkan barang yang dianggap sampah oleh negara lain, dan impor untuk ditumpuk di negara kita?
Pemerintah Tanggapan
Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa upaya pemerintah untuk ini telah ditunjukkan dengan adanya peraturan menteri perdagangan yang jelas melarang keras praktik impor barang bekas ke Indonesia, termasuk dengan pakaian, sepatu, dan barang elektronik bekas.
Namun pemerintah juga harus bersikap adil untuk menanggapi isu limbah tekstil di negara kita. Misalnya, membatasi produk Cina yang masuk ke negara kita. Karena kebanyakan produk yang diproduksi dari Cina merupakan produk fast fashion. Sedangkan kita semua tahu, bahwa fast fashion juga sangat berdampak buruk bagi bumi.
Jika pemerintah hanya melarang impor barang bekas, tetapi tetap memberikan izin bebas menerima barang produk fast fashion, menurut saya kebijakan tersebut tidak memiliki dampak positif yang besar. Jika yang dipermasalahkan adalah limbah tekstil dan polusi lingkungan, sama seperti pemerintah tidak bijak dalam hal ini.
Perlu saya tekankan kembali, bahwa yang dilarang pemerintah adalah kegiatan impor barang bekas dari luar negeri. Bukan melarang praktik jual beli baju bekas. Jika memang, penjual barang bekas menjual barang bekas lokal dan bukan hasil impor, menurut saya itu adalah tindakan yang perlu diacungi jempol.
Menemukan Solusi
Setiap adanya sebuah inovasi baru, pasti akan disertai dengan permasalahannya. Namun, saya percaya dari sebuah permasalahan akan memunculkan jawaban yang positif jika kita memandang dari sudut pandang positifnya. Pertumbuhan trifting akan menimbulkan tantangan baru bagi merek lokal. Inilah yang seharusnya kita jadikan senjata untuk menjadi lebih baik di industri fashion.
Oleh karena itu, kita sebagai konsumen yang bijak seharusnya benar-benar memberdayakan produk lokal. Termasuk dalam konsep thrifting, tidak menjadi masalah selagai pakaian bekas yang dijual merupakan milik warga lokal. Justru ini adalah gerakan yang baik untuk industri fashion agar tidak menambah produksi pakaian secara berlebihan.
Sebuah solusi yang paling tepat adalah dengan memproduksi barang berkualitas yang tidak kalah dengan brand luar negeri. Sehingga konsumen merasa puas dengan barang yang ia beli. Dengan begitu, perlahan peluncuran konsumen akan merasa bahwa bukan hanya merek luar negeri yang memiliki kualitas premium.
Selain itu, pemerintah seharusnya sudah bijak mengenai masalah ini. Pemerintah sudah seharusnya meminimalisir produk fast fashion yang datang ke Indonesia, dan melakukan promosi besar-besaran produk lokal. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi konsumen untuk merasa mahal membeli merek lokal.
Kemudian, untuk kita yang memahami konsep fashion seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat dan mengarahkan sebagaimana mestinya. Artinya, dimulai untuk mengedukasi masyarakat agar tidak mudah mengonsumsi hal-hal yang terlihat murah. Meski thrifting terbilang murah, namun kita harus tetap menjadi pembeli yang cerdas dengan mengetahui apakah pakaian bekas itu benar milik warga lokal atau hasil impor.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, bisa saya simpulkan bahwa yang menjadi masalah konsumen di Indonesia mudah tergiur dengan barang yang dijual murah. Sehingga menjadikan mereka sengaja menutup mata untuk mengetahui fakta sebenarnya. Bahwa kegiatan impor pakaian bekas, bukan satu-satunya solusi untuk hemat.
Hemat sebenarnya adalah, membeli barang berkualitas meski sedikit mahal, tetapi bisa menikmati manfaatnya bertahun-tahun hingga puluhan tahun. Mengapa demikian? karena, membeli barang murah tidak bisa menjamin kualitas produk akan bertahan berapa lama.
Dan juga sudah seharusnya masyarakat kita mengetahui bahwa, kegiatan impor pakaian bekas bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi sampah di bumi. Karena, nyatanya banyak produk impor yang gagal dijual dan berakhir menjadi gunungan sampah dan menambah PR untuk negara kita.
Refleksi Diri
Untuk saat ini, saya telah memilih untuk berhenti menjadi pelanggan thrifting hasil impor dari beberapa negara. Mungkin cukup sulit untuk memutuskan berhenti, karena saya rasa membeli baju bekas yang masih layak merupakan tindakan yang hemat untuk pelajar seperti saya, saat itu.
Alasan saya memilih berhenti berlangganan thrifting, karena memang saya tidak bisa menjamin apakah ini barang impor atau bukan. Di sisi lain, saat ini saya lebih memilih untuk berbelanja barang slow fashion dari brand lokal yang bisa dibandingkan kualitasnya.
Dari artikel ini, saya harap kita dapat bersama-sama saling mencintai dan menjaga bumi kita. Sekian artikel tentang tren thrifting dari saya, semoga bermanfaat dan menjadikan kamu menjadi konsumen yang cerdas dan sampai jumpa di artikel selanjutnya!
Sumber Referensi:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/223595/permendag-no-25-tahun-2022