Bagong dan Personifikasi Kaum Alit

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia

admin
sumber: http://rajawalisiber.com/
sumber: http://rajawalisiber.com/

Sosok Bagong dan Wali Songo

Bagong merupakan salah satu tokoh wayang yang diproduksi oleh Wali Songo selaku penyebar Islam di Tanah Jawa. Wayang sendiri merupakan sajian religio-magis yang sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke Tanah Jawa. Wayang digunakan sebagai salah satu media dakwah untuk menyebarluaskan ajaran-sjaran Islam di tanah Jawa. Sebagai masyarakat penikmat wayang, masyarakat Jawa menjadikan wayang sebagai sebuah sarana tidak saja terkait dengan nuansa seni hiburan (tontonan) tetapi juga tuntunan dengan nuansa religi dan magis pada masa pra-Islam hingga era Islam.

Para tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam wayang era Islam pun masih mengadopsi tokoh-tokoh wayang yang ada di masa pra-Islam yaitu tokoh-tokoh yang terdapat dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Pertemuan antara tokoh protagonis yang diwakili oleh Pandawa dan tokoh antagonis yang diwakili oleh Kurawa dimasuki oleh nuansa Islam dengan masuknya tokoh-tokoh baru sejak era Wali Songo. Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng menjadi tokoh baru yang menyemarakkan jagat pewayangan.

Salah satu tokoh yang dimunculkan oleh Wali Songo adalah Bagong (anak bungsu Semar). Bagong diambil dari kata bagho dalam bahasa Arab yang bermakna berontak terhadap kebatilan. Bagong sebagai tokoh punokawan yang diciptakan oleh Wali Songo merupakan lambang keberanian melawan segala ketidakbenaran, kebatilan, serta ketidakjujuran yang jamak terjadi di tengah masyarakat.

Bagong juga diambil dari kata Baqo’ atau kekal, dalam hal ini tokoh Bagong mengajarkan bahwa Allah sebagai satu-satunya Yang Maha Kekal, sedangkan selainNya adalah ketiadaan (Qs.16:95). Melalui Bagong Wali Songo mengajarkan bahwa manusia harus membuang segala hal selainNya di dalam hati. Bagong menjadi simbol nilai-nilai Illahiah dalam diri manusia yang kini cenderung melupakan Allah karena begitu cinta pada dunia.

Bagong dan Kritik Sosial

Bagong menjadi simbol dari keberanian kaum pinggiran melawan kezaliman serta ketidakadilan. Ia menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh kawula alit (rakyat jelata). Bagong yang sangat suka bercanda, melakukan kritik sosial melalui candaan, guyonan, dan justru hal ini menjadikan penguasa Kerajaan Amarta (Para Pandawa) memperoleh banyak masukan untuk membangun rakyat dan negaranya (Nuswantoro, et.al., 2022).

Sosok Bagong menjadi bentuk kritik sosial atas ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang sering terjadi. Bagong bukanlah raja dan bangsawan, ia hanyalah kawula alit (rakyat jelata) yang menyaksikan penderitaan sesamanya. Dengan kelucuannya ia melakukan kritik sosial, yang tidak jarang menimbulkan perseteruan dirinya dengan para Kurawa, Begawan Durna dan Sengkuni dari Kerajaan Astinapura.

Bagong dikisahkan tinggal di desa Karang Kadempel merupakan seorang yang berani untuk mengutarakan ketidakbenaran. Ia hadir dalam sosok rakyat jelata yang bertugas mendampingi para Pandawa. Bagong merupakan personifikasi dari keberanian anak manusia dalam memperjuangkan ketidakadilan yang dialami dan menimpa masyarakat banyak.

Bagong menemani para Pandawa bersama ayahnya Semar, serta kedua saudaranya Petruk dan Gareng. Walaupun Bagong ini hanyalah seorang pendamping yang menemani keluarga Keraton Amarta, ia adalah sosok pemberani, jujur, tegas, dan juga bijaksana. Ia terkadang juga memiliki sisi ketidaksopanan karena dianggap terlalu berani melakukan kritik tajam pada para penguasa kerajaan (Royal Familiy). Sifat dan keberanian ini bertolak belakang dengan karakter Durna dan Sengkuni yang cenderung menjilat para penguasa Kerajaan Astina untuk mendapatkan bagian kekuasaan.

Bagong adalah rekaan manusia yang berani mengungkapkan ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat. Para Pandawa yang notabene adalah keluarga bangsawan Kerajaan Amarta justru membutuhkan bantuan para Punokawan, yaitu Semar dan anak-anaknya dalam menghadapi para Kurawa dari Kerajaan Astinapura. Disini Wali Songo hendak menjelaskan bahwa eksistensi kekuasaan tidaklah lepas dari rakyat yang mendukungnya. Suara rakyat kecil yang direpresentasikan oleh Bagong dan keluarganya dengan karakter keberaniannya serta kejujurannya menunjukkan adanya keterikatan batiniah antara Raja dengan rakyatnya.

Jika merunut pada sisi jalur keluarga, sesungguhnya Bagong memiliki garis leluhur para Dewa. Ia adalah anak Semar yang merupakan salah satu Dewa yang diturunkan oleh Sang Hyang Tunggal dari Kahyangan guna mendidik perilaku manusia khususnya para Pandawa. Bagong dengan garis leluhur para Dewa sejatinya jauh lebih tinggi kemuliaan dan kedudukannya dibandingkan para Pandawa, tetapi Wali Songo lebih menampilkan sosok Bagong sebagai kawula alit dibandingkan sosok Dewa. Hal ini mengajarkan bahwa nilai-nilai keagungan yang dimiliki seseorang sejatinya tetap menjadikan manusia rendah hati dihadapan sesama.

Penutup

Nilai filosofis yang muncul dari tokoh Bagong adalah keluhuran budi. Ia lebih dikenal sebagai tokoh manusia biasa dari lingkungan kawula alit (rakyat jelata) dengan segenap nilai kemanusiaannya, dibandingkan sosok darah dewa yang mengalir dalam dirinya. Bagong mengajarkan bahwa sehebat apapun manusia ia tetap manusia biasa, yang sempurna dan kekal hanyalah Allah semata.

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (Qs. An-Nahl [16]: 95).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *