Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan untuk melakukannya. Waspadalah… waspadalah!
Keji dan tak bermoral itulah dua kata yang mungkin paling pantas disematkan untuk para pelaku kekerasan seksual pada anak. Di Indonesia sendiri aksi-aksi pelecehan dan kekerasan seksual ini masih kerap terjadi. Ironisnya, yang seringkali menjadi pelaku adalah orang-orang terdekat korban.
Hal ini menunjukan bahwa anak begitu rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Ini menjadi pelik sehingga membutuhkan perhatian dan juga strategi khusus dari semua pihak untuk bisa mencegah terjadinya aksi tak bermoral dan bejat ini pada anak.
Seperti yang terjadi pada September 2022 yang lalu, seorang anak berinisial J (12) mengalami nasib yang nahas setelah menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual oleh orang-orang terdekatnya bertahun-tahun hingga terjangkit HIV. Sungguh malang sekali nasib anak ini. Bukan saja harga dirinya yang terenggut, namun masa depannya pun terancam hancur pasca kejadian yang cukup mengguncang hidupnya itu.
Tapi apabila diteliti dengan seksama, pelecehan dan kekerasan seksual pada anak tak lantas terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor dan penyebab yang menyertainya. Dalam kasus yang dialami oleh J seorang anak 12 tahun asal Medan yang menjadi korban kekerasan seksual ini, saya menemukan 3 penyebab utamanya.
Pertama, J sudah lebih dulu menjadi korban ketidakharmonisan orangtuanya.
Terungkap bahwa Ayah dan Ibunya sejak J masih bayi hingga usia 7 tahun sudah berpisah. Sehingga J tinggal dan dirawat oleh Ibunya. Namun nasib malang menimpanya ketika pacar Ibunya yakni B yang tinggal dirumah bersama Ibunya itu tega berbuat tak senonoh dan melecehkan dirinya.
Ibunya yang seringkali bekerja hingga larut malam memberikan kesempatan dan peluang bagi B untuk melancarkan aksi bejatnya tersebut. Dalam hal ini J tentu sebagai pihak yang lemah, minim pengawasan, keamanan dan kasih sayang dari orangtuanya, sehingga pantas saja hal buruk itu pun lantas terjadi padanya saat usianya masih sangat belia itu.
Andai saja J mempunyai kedua orangtua yang harmonis dan Ayah-Ibu nya tak berpisah kala itu. Mungkin nasibnya akan lebih baik. J akan lebih aman dan terawasi serta peluang terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual pada dirinya pun menjadi kecil. Namun apa boleh dikata, itu sudah menjadi takdir hidupnya. Keretakan rumah tangga dan ketidakharmonisan orangtuanya mengundang malapetaka bagi kehidupannya.
Soal ketidakharmonisan orangtua yang menjadi penyebab kekerasan seksual ini pun pernah disinggung oleh seorang Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) R.A. Yayi Suryo Prabandari. Menurutnya, salahsatu faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual pada anak karena ada hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dengan anak dan adanya konflik dalam keluarga itu sendiri.
“Dibeberapa kasus (terjadinya pelecehan seksual pada anak) karena ada konflik suami istri dan kemudian juga ada atmosfer yang tidak terlalu harmonis.” paparnya sebagaimana dilansir dari Republika.
Kedua, adanya peluang dan kesempatan dari pelaku.
Mungkin anda masih ingat dengan pesan yang sering diucapkan oleh Alm. Bang Napi Sergap dalam sebuah acara stasiun Televisi Swasta, dalam acara itu dirinya sering berpesan, “Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan“. Pesan itu sangat tepat dan tak bisa disangkal.
Karena itu yang terjadi pada J sebagai korban yang mengalami pelecehan seksual dari pacar Ibunya itu karena sang pelaku memiliki banyak waktu, kesempatan dan peluang untuk melakukannya. J yang seringkali ditinggal sendiri dan dibiarkan begitu saja oleh Ibunya di rumah bersama B, menjadikan B kalap dan gelap mata sehingga melakukan aksi bejatnya itu pada J.
Adanya peluang dan kesempatan itulah yang seringkali menjadi salahsatu penyebab kuat terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual.
Ketiga, korban tidak berani melawan dan bersuara.
Tidak sedikit korban yang hanya bisa pasrah ketika mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Apalagi bila korban merupakan anak-anak yang tidak mengerti dan belum teredukasi mengenai seksualitas dan tak punya bekal kemampuan bela diri. Maka pihak lemah yang seperti ini yang biasanya menjadi sasaran empuk para predator seksual.
J yang kemungkinan besar awalnya tidak berani melawan dan takut bersuara akhirnya membuat para pelaku semakin berani untuk berbuat tak senonoh dan bejat padanya. Bayangkan saja J berulangkali mendapatkan pemerkosaan dari orang-orang terdekatnya, itu menunjukan bahwa J tidak punya cukup sumberdaya kekuatan untuk melawan sehingga hanya bisa pasrah atas keadaan tersebut.
Data Pelecehan Seksual Pada Anak di Indonesia Mengkhawatirkan
Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yakni 4.162 kasus.
Sebelumnya pemerintah juga sempat mengadakan survei bersama beberapa lembaga negara seperti KemenPPPA, Bappenas, Badan Pusat Statistik dengan dukungan teknis dari UNICEF Indonesia dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) dengan sampel responden yang diambil secara acak dari 25 Provinsi, 108 Kabupaten dan 125 Kecamatan untuk mengetahui data pelecehan seksual pada anak di Indonesia.
Hasil dari survei tersebut ditemukan ada sekitar 1,5 juta anak dan remaja menjadi korban kekerasan seksual dalam periode Maret-April 2014. Dengan data yang cukup mengkhawatirkan itu pantas saja Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menyebut bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan seksual.
“Kita diingatkan bahwa ada satu kondisi dengan penekanan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual.” terangnya, sebagaimana dimuat oleh CNN.
Kekerasan Seksual Pada Anak Bisa Dicegah
Namun bukan berarti kita tidak bisa mencegah dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk bisa menekan angka dan mencegah kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Semuanya perlu dimulai dari diri kita sendiri serta keluarga untuk sama-sama bahu membahu memberikan atensi dan melakukan langkah-langkah preventif untuk menjaga anak kita dari tindak kekerasan seksual.
Pertama, kita bisa mulai dengan rutin memberikan edukasi seksualitas sejak dini pada anak. Beri tahu dan ajarkan anak tentang melindungi diri dan area intim yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Hal ini penting untuk menumbuhkan kesadaran pada anak bahwa tubuhnya perlu dijaga agar tidak sembarang orang bisa menyentuhnya.
Kedua, kita juga perlu melakukan pengawasan pada orang-orang terdekat. Ingat! Kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi pada anak sebagian besar pelakunya ternyata adalah orang terdekat. Kita mesti waspada untuk tidak terlalu mempercayai orang-orang terdekat yang sering bersama anak kita. Karena kejahatan selalu terjadi apabila ada kesempatan bukan hanya semata-mata karena niat dari pelaku.
Ketiga, kita perlu memberi bekal beladiri pada anak. Didik dan ajari anak untuk tegas dan berani menolak ketika menerima pelecehan seksual. Karena biasanya kekerasan seksual terjadi secara bertahap, sang pelaku biasanya melihat reaksi dari si korban, apabila korban terlihat tidak marah, diam dan hanya pasrah saja, maka itu akan membuat si pelaku lebih leluasa untuk melakukan aksi bejatnya.
Tapi apabila sejak awal anak sudah bersikap tegas dan berani melawan, ketika melihat reaksi tersebut si pelaku mungkin akan berpikir dua kali untuk melakukan aksinya itu. Anak juga perlu senantiasa diberi edukasi agar mau terbuka dan terus terang mengenai kehidupannya. Baik itu pergaulannya sosialnya, disekolahnya dan bagaimana serta bersama siapa ia bermain juga perlu menjadi prioritas pengawasan kita sebagai orangtua.
Bagaimanapun kekerasan seksual pada anak adalah kasus yang tidak bisa ditolerir. Untuk mengatasinya diperlukan sinergi dari semua pihak. Bukan hanya orangtua saja, tapi peran dari Guru, lingkungan serta Pemerintah juga penting untuk bisa mengatasi persoalan ini. Termasuk memberi hukuman yang berat sebagai efek jera untuk para pelaku agar kasus-kasus yang serupa bisa dicegah dan diantisipasi.
Responses (2)