Cinta dan benci, dua emosi yang sering kali datang tanpa diundang. Kayak tamu tak diundang yang tiba-tiba nongol di pesta ulang tahun kita. Bedanya, kalau cinta biasanya datang dengan kue dan hadiah, kebencian datang dengan setumpuk sampah dan bau tak sedap.
Cinta, konon katanya, bisa muncul dari pandangan pertama. Seperti ketika kita pertama kali melihat bakso yang mengepul di meja makan setelah seharian puasa. Tapi kebencian? Wah, dia bisa datang dari mana saja. Bisa jadi dari provokasi tetangga yang iri karena pagar rumah kita lebih tinggi, atau indoktrinasi dari pemuka agama atau tokoh politik yang ceramahnya lebih panjang dari antrian sembako gratis.
Kebencian terhadap kelompok tertentu sering kali ditanamkan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi panutan. Bayangkan saja, Pak RT yang harusnya menjadi contoh malah sibuk menghasut warga agar membenci kucing liar karena dianggap penyebab hilangnya sendal jepit di teras rumah. Padahal, kita semua tahu sendal jepit itu hilang karena dipakai Pak RT sendiri waktu ronda malam.
***
Nah, izinkan saya, si narator yang ganteng ini, untuk bercerita tentang pengalaman pribadi saya saat remaja. Waktu itu, saya dan teman-teman sekampung merasa iri dan benci terhadap sekelompok anak muda kaya yang sering datang ke kampung kami. Kampung kami ini, ya begitulah, namanya juga kampung. Jalanan becek, rumah berhimpitan, dan warung kopi pak Ijo yang jadi tempat nongkrong favorit.
Anak-anak kaya ini datang dengan motor keren mereka. Motor yang suaranya bisa membangunkan bayi yang baru tidur dan membuat ibu-ibu hamil kaget sampai melahirkan prematur. Mereka berpakaian mewah, seolah-olah baru saja keluar dari butik ternama, padahal kami tahu itu pasti baju KW super dari Tanah Abang.
Tujuan mereka? Mengunjungi seorang gadis cantik yang baru pindah ke kampung kami. Gadis ini, sebut saja Rani (bukan nama sebenarnya, tapi lebih enak didengar daripada nama aslinya yang Suminem), berasal dari keluarga kelas menengah. Bayangkan, di tengah-tengah lautan rumah dengan genteng bocor, tiba-tiba ada rumah dengan AC di setiap kamar. Itu rumah Rani.
Rani ini selalu didatangi oleh teman-teman lamanya yang lebih keren daripada kami, anak-anak kampung. Mereka datang dengan motor Ninja, sementara kami punya motor bebek yang suaranya mirip blender rusak. Mereka pakai kemeja branded, kami pakai kaos oblong yang sudah luntur karena keseringan dipakai main bola di lapangan berlumpur.
***
Kami, dengan otak remaja yang masih dipenuhi hormon dan pikiran pendek, merasa bahwa Rani ini seharusnya menjadi “aset” kampung kami. Aset kampung, bukan aset negara ya. Kami tidak rela kalau Rani ini “dinikmati” oleh orang luar. Dinikmati dalam tanda kutip lho ya, jangan mikir yang aneh-aneh. Maksudnya, kami tidak rela kalau Rani lebih memilih bergaul dengan mereka daripada dengan kami.
Rasa marah dan tersinggung mulai menguasai kami. Kami merasa seperti pahlawan kampung yang harus menyelamatkan “putri” dari cengkeraman “pangeran-pangeran” dari luar. Padahal, kalau dipikir-pikir, kami lebih mirip koboi-koboian yang main kuda-kudaan pakai sapu lidi.
***
Suatu hari, ide “brilian” muncul di kepala kami. Kami memutuskan untuk mengambil tindakan dengan cara mengeroyok anak-anak kaya tersebut. Iya, mengeroyok. Karena kami tahu, one-on-one tidak mungkin menang. Jangankan one-on-one, five-on-one pun kami masih ragu.
Pada suatu sore yang cerah, cerah banget sampai-sampai kulit kami yang sudah hitam makin gosong dibakar matahari, kami berkumpul di depan gang tempat Rani tinggal. Kami menunggu anak-anak kaya tersebut keluar, seperti singa-singa kelaparan menunggu mangsa. Bedanya, singa menunggu dengan gagah, kami menunggu sambil jongkok main benthik.
***
Ketika anak-anak kaya itu akhirnya keluar dari rumah Rani, jantung kami berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena kebanyakan minum es cendol pak Mardi yang terkenal dengan kadar gulanya yang bisa bikin diabetes mendadak.
Saya, yang sebenarnya penakut dan lebih suka main kelereng daripada berantem, entah kerasukan setan apa, tiba-tiba menjadi orang pertama yang memukul salah satu anak kaya tersebut dari belakang. Saya memukul dengan sekuat tenaga, seolah-olah sedang memukul karung beras yang tidak mau bocor meski sudah ditambal berkali-kali.
Anak kaya itu jatuh dari motornya. Motornya tergeletak di tanah, mirip seperti posisi saya kalau disuruh push-up lebih dari lima kali. Teman-teman saya, yang tadinya ragu-ragu, melihat aksi “heroik” saya dan langsung ikut menyerang yang lain.
***
Namun, tepat setelah memukul, saya merasakan sesuatu yang aneh. Bukan, bukan rasa puas atau bangga. Malah sebaliknya, saya merasa bersalah dan kasihan. Tiba-tiba saja, seperti ditampar oleh kenyataan (yang rasanya lebih sakit daripada tamparan ibu waktu ketahuan bolos sekolah), saya tersadar bahwa tindakan kami ini tidak beralasan sama sekali.
Saya melihat ke sekeliling. Teman-teman saya masih sibuk berkelahi, tapi wajah mereka tidak menunjukkan kepuasan. Malah, mereka terlihat bingung, seperti ayam yang baru menetas dan tidak tahu harus berbuat apa. Anak-anak kaya itu? Mereka ketakutan, tentu saja. Tapi yang lebih menyedihkan, mereka terlihat bingung. Mungkin dalam hati mereka bertanya-tanya, “Salah kami apa coba?”
Dan di sanalah saya berdiri, di tengah-tengah kekacauan yang saya mulai, merasa seperti orang paling bodoh sedunia. Bahkan lebih bodoh daripada waktu saya percaya kalau makan banyak kuaci bisa bikin jadi ahli matematika.
***
Saya sadar bahwa semua ini hanya didorong oleh iri hati dan kebencian yang tidak berdasar. Kami cemburu karena mereka punya motor bagus? Hei, mereka kan tidak mencuri motor itu dari kami. Kami kesal karena mereka berpakaian bagus? Ayolah, mereka tidak memaksa kami untuk berpakaian compang-camping.
Dan Rani? Dia berhak berteman dengan siapa saja. Dia bukan “aset kampung” atau apapun itu. Dia manusia, punya hak untuk memilih teman-temannya sendiri. Kami tidak punya hak untuk mengatur kehidupan sosialnya, apalagi dengan cara kasar seperti ini.
Saat itulah saya menyadari betapa konyol dan tidak bermoralnya tindakan kami. Kami telah menjadi monster yang kami kira sedang kami lawan. Kami telah menjadi penindas, padahal kami merasa sedang membela diri dari penindasan.
Perasaan malu dan bersalah mulai menyelimuti saya. Saya ingin menghentikan semua ini, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Saya merasa seperti sutradara film action yang tiba-tiba sadar kalau dia sebenarnya lebih cocok bikin film dokumenter tentang kehidupan siput.
***
Akhirnya, entah mendapat keberanian dari mana, saya berteriak, “STOP!”
Semua orang berhenti. Mereka menatap saya dengan tatapan bingung, seolah-olah saya baru saja berteriak dalam bahasa alien.
“Ini salah,” saya berkata, suara saya bergetar seperti mesin cuci rusak. “Kita… kita salah.”
Teman-teman saya menatap saya seolah-olah saya baru saja mengatakan bahwa bumi itu datar atau bahwa sinetron Indonesia layak mendapat Oscar.
“Mereka tidak salah apa-apa,” saya melanjutkan. “Kita yang salah. Kita yang iri. Kita yang benci tanpa alasan.”
***
Hening. Bahkan angin pun sepertinya berhenti bertiup, mungkin karena terlalu kaget mendengar kata-kata bijak keluar dari mulut saya yang biasanya hanya mengeluarkan lelucon garing.
Perlahan-lahan, satu per satu teman saya mulai mundur. Anak-anak kaya itu, masih dengan tatapan bingung dan takut, mulai mengambil motor mereka yang tergeletak.
“Maaf,” saya berkata kepada mereka. “Kami… kami benar-benar minta maaf.”
Mereka tidak menjawab. Mungkin masih syok, atau mungkin takut kalau ini hanya jebakan untuk menyerang mereka lagi. Mereka segera menaiki motor mereka dan pergi secepat kilat, meninggalkan kami dalam keheningan yang canggung.
Saya menatap teman-teman saya. Mereka menunduk, tidak berani menatap mata saya. Mungkin mereka juga mulai menyadari kebodohan kami.
***
“Ayo pulang,” saya berkata. Kami berjalan pulang dalam diam. Tidak ada yang bicara. Bahkan si Ujang yang biasanya paling berisik pun diam seribu bahasa. Mungkin dia sedang berpikir bagaimana caranya minta maaf pada ibunya karena bajunya robek dan kotor.
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Saya terus memikirkan kejadian tadi sore. Bagaimana bisa kebencian yang tidak beralasan itu begitu mudah menguasai kami? Bagaimana bisa kami menjadi begitu buta oleh iri hati?
Saya sadar, kebencian itu seperti racun. Dia menyebar perlahan-lahan, menggerogoti akal sehat kita, membuat kita melakukan hal-hal bodoh yang bahkan tidak bisa kita jelaskan alasannya.
***
Esok paginya, saya mengumpulkan teman-teman saya. Kami sepakat untuk minta maaf pada anak-anak kaya itu, juga pada Rani. Kami sadar, kami telah bertindak seperti penjahat dalam sinetron murahan, bedanya kami tidak dibayar dan akting kami jauh lebih buruk.
Kami juga berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi membiarkan kebencian dan iri hati menguasai kami. Kami akan berusaha menjadi lebih baik, lebih bijak, dan tentu saja, lebih keren dengan cara kami sendiri. Mungkin kami tidak akan punya motor Ninja, tapi setidaknya kami bisa jadi ninja dalam hal mengendalikan emosi.
Dan Rani? Yah, dia tetap cantik dan populer. Tapi kali ini, kami tidak lagi merasa terganggu. Malah, kami mulai belajar darinya. Bagaimana caranya bergaul dengan baik, bagaimana caranya berpenampilan rapi meski dengan budget pas-pasan, dan yang paling penting, bagaimana caranya menjadi manusia yang lebih baik.
Pengalaman itu menjadi pelajaran berharga bagi kami. Bahwa kebencian hanya akan melahirkan kebencian, dan bahwa iri hati hanya akan membuat hidup kita sendiri menjadi pahit. Sejak saat itu, kami berusaha untuk selalu introspeksi diri sebelum menghakimi orang lain. Tamat.
Baca juga: Ramalan Bai Liu