Penjaga Waktu Terakhir – Bau logam dan oli tua memenuhi bunker, menyatu dengan aroma debu yang menempel di setiap sudut. Di bawah tanah, jauh dari permukaan Bumi yang kini hanya puing dan radiasi, Elira duduk di kursi besi yang dingin, matanya yang keruh menatap konsol berkedip di depannya. Layar itu penuh garis-garis hijau bergerak liar, seperti denyut nadi waktu yang tak pernah tenang. Di sisi ruangan, sebuah silinder kaca memancarkan cahaya biru pucat, menyimpan perangkat penjelajah waktu terakhir, benda yang telah merenggut segalanya darinya: keluarga, harapan, bahkan langit.
“Penjaga Waktu Terakhir,” gumam Elira, suaranya serak, mengejek julukan yang diberikan faksi-faksi di luar sana. Mereka yang haus akan alat itu, yang percaya bisa menulis ulang sejarah demi kekuasaan. Baginya, itu bukan anugerah, melainkan kutukan. Dia mengelus lengan bajunya, merasakan bekas luka bakar dari serangan terakhir faksi penyerbu, tiga tahun lalu. Sejak itu, dia hidup sendiri, ditemani hanya oleh dengung mesin dan suara Chronos, AI asisten yang setia sekaligus menyebalkan.
“Deteksi anomali temporal, sektor tujuh,” suara Chronos tiba-tiba menggema, datar namun tajam, memecah keheningan. “Intrusi tanpa otorisasi.”
Elira menegak, jantungnya berdegup kencang. “Intrusi? Perisai bunker ini dirancang untuk menahan serangan antargalaksi. Bagaimana…”
Belum selesai dia berbicara, pintu baja di ujung ruangan mendesis, uap tipis menyembur dari celah-celahnya. Seorang pemuda melangkah masuk, bajunya compang-camping, rambutnya basah oleh keringat. Wajahnya pucat, tapi matanya, mata itu penuh tekad, seperti seseorang yang telah melihat akhir dunia dan menolak menerimanya. Dia mengangkat kedua tangan, telapaknya kosong. “Jangan tembak. Aku bukan musuh.”
“Chronos, kunci pintu!” bentak Elira, tangannya meraih pistol plasma di meja, jari-jarinya gemetar. “Siapa kamu? Tidak ada yang bisa masuk ke sini tanpa kode.”
Pemuda itu menelan ludah, napasnya tersengal. “Namaku Kael. Aku dari tahun 2450. Aku butuh bantuanmu, Elira. Galaksi sedang sekarat.”
Nama itu, bagaimana dia tahu namanya? Elira mengerutkan kening, jari telunjuknya masih di pelatuk. “2450? Omong kosong. Chronos, scan dia.”
Layar konsol berkedip, memancarkan cahaya hijau ke wajah Elira. “Subjek: manusia, usia sekitar 25 tahun. Tidak ada senjata terdeteksi. Riak temporal minor terdeteksi pada titik masuk. Tidak ada ancaman langsung.”
Kael melangkah maju, gerakannya hati-hati. “Aku tidak punya banyak waktu. Perangkatku rusak saat aku melompat ke sini. Jika aku tidak kembali ke masaku, Perang Abadi akan menghancurkan segalanya. Utopia yang kami bangun… hilang.”
“Utopia?” Elira mencibir, tapi ada sesuatu dalam nada Kael yang membuat dadanya sesak. Harapan. Kata yang sudah lama dia kubur bersama adiknya, yang mati dalam ledakan pertama perang antargalaksi. “Buktikan.”
Kael mengeluarkan sebuah alat kecil dari saku, versi mini dari perangkat di silinder kaca, tapi retak dan berasap, seperti telah bertahan dari kehancuran. “Ini penjelajah waktuku. Aku cuma butuh komponen cadangan dari alatmu.”
Elira menatap alat itu, lalu ke Kael. Matanya terlalu tajam, seperti seseorang yang menyimpan rahasia. Tapi ada kelelahan di wajahnya, bayang-bayang keputusasaan yang terasa… manusiawi. Dia mengangguk, pistol masih di tangan. “Baik. Tapi aku awasi setiap gerakanmu.”
***
Selama empat hari, bunker itu dipenuhi suara denting logam dan dengung alat. Elira dan Kael bekerja berdampingan di meja kerja yang sempit, diterangi lampu neon yang kadang berkedip, menciptakan bayangan panjang di dinding. Bau keringat bercampur dengan panas sirkuit yang meleleh. Di luar, Bumi bergemuruh pelan, gema ledakan kapal perang di langit yang tak pernah diam.
Kael ternyata cerdas, tangannya lincah memperbaiki sirkuit dengan presisi seorang ahli. Di sela-sela kerja, dia bercerita tentang masa depan: kota-kota terapung di nebula, perdamaian antarspesies, teknologi yang membuat Bumi tak lagi sekadar puing. “Kami hampir mencapai utopia,” katanya suatu malam, matanya berbinar di bawah cahaya konsol. “Tapi satu keputusan buruk di masa lalu, di waktu ini, akan menghapus semuanya.”
Elira mendengar dengan setengah hati, tangannya sibuk memutar obeng. Tapi diam-diam, dia iri. Dunia seperti itu terasa seperti mimpi yang dulu pernah dia pegang, sebelum perang merenggut adiknya, sebelum dia jadi tahanan bunker ini. “Keren, ya?” Kael menambahkan, tersenyum kecil. “Kamu pasti suka melihatnya.”
Elira memalingkan muka, mengusir gambar adiknya yang tertawa di bawah pohon, dulu, saat matahari masih hangat. “Jangan coba-coba mainkan emosiku, anak muda.”
Kael mengangguk, tapi ada sesuatu di matanya—penyesalan? “Aku cuma… kagum. Menjaga benda ini,” dia menunjuk silinder kaca, “sendirian. Itu berat.”
“Berat?” Elira mencibir, tapi suaranya goyah. “Coba rasakan kehilangan segalanya, lalu bicara soal berat.”
Kael menunduk, diam. Untuk sesaat, bunker itu terasa lebih dingin, hanya ada suara dengung mesin dan napas mereka.
***
Malam kelima, Elira terbangun dari tidur singkatnya di ranjang lipat. Dia mendengar Kael berbisik di sudut ruangan, ke arah perangkatnya yang kini hampir selesai. “Chronos,” bisik Elira, bersembunyi di balik konsol. “Jalankan verifikasi silang pada titik asal Kael. Sekarang.”
“Memproses,” jawab Chronos, suaranya pelan. Layar kecil di pergelangan tangan Elira berkedip, menunjukkan data yang mengalir cepat. Elira menatap Kael dari kejauhan. Ada yang salah. Dia tahu terlalu banyak, tentang bunker, tentang letak kunci cadangan di bawah konsol, bahkan tentang kebiasaannya menyeduh teh sintetis setiap pagi. Bagaimana?
Pagi harinya, perangkat Kael bersinar, siap digunakan. Dia memegang alat itu dengan tangan gemetar, tersenyum lebar. “Terima kasih, Elira. Kamu baru saja menyelamatkan galaksi.”
“Tunggu,” kata Elira, suaranya dingin. Dia berdiri, pistol plasma di tangan, menatap Kael. “Chronos selesai memverifikasi. Kamu bukan dari 2450. Kamu dari 2360, sebelum perang dimulai.”
Kael membeku, senyumnya memudar. Lalu dia tertawa pelan, pahit, seperti seseorang yang baru saja kehilangan taruhan. “Kamu cerdas. Aku seharusnya tahu.”
“Siapa kamu sebenarnya?” bentak Elira, jari telunjuknya di pelatuk. “Dan jangan coba bohong lagi!”
Kael menghela napas, meletakkan perangkatnya di meja dengan hati-hati. “Aku Kael Varn, ilmuwan yang menciptakan teknologi penjelajahan waktu. Aku datang untuk menghancurkan alat ini, dan alatmu, sebelum faksi-faksi menggunakannya. Perang ini…” Dia menatap Elira, matanya penuh beban. “Ini perlu terjadi. Ini menyakitkan, tapi dari puing-puingnya, kami membangun masa depan.”
Elira menggeleng, jantungnya berdegup kencang. “Kamu gila. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan satu-satunya harapan untuk memperbaiki dunia!”
“Seperti kamu pikir bisa memperbaiki hidupmu?” Kael melangkah maju, suaranya lembut tapi menusuk. “Adikmu, keluargamu, mereka tidak akan kembali, Elira. Mengubah waktu hanya akan menciptakan paradoks.”
Elira menahan napas. Bagaimana dia tahu tentang adiknya? Kemarahan membakar dadanya, mengaburkan logika. Dengan gerakan cepat, dia menembakkan pistol, bukan ke Kael, tapi ke perangkat di meja. Alat itu meledak dalam percikan api, pecahan logam beterbangan. Kael tersungkur, terkejut, menatap puing-puing itu dengan mata melebar.
“Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!” teriak Kael, suaranya penuh keputusasaan. Dia merangkak menuju sisa-sisa perangkat, tapi Elira menodongkan pistol ke arahnya.
“Aku tahu cukup,” sela Elira, napasnya berat. “Kamu tidak akan menyentuh alat ini. Tidak akan ada yang menyentuhnya.”
Kael menatapnya, matanya penuh sesal. “Kamu baru saja mengubah segalanya, Elira. Dan aku harap kamu siap dengan konsekuensinya.”
Sebelum Elira bisa menjawab, Chronos berbicara, suaranya aneh, hampir… manusiawi. “Perhatian. Riak temporal besar terdeteksi. Garis waktu primer mengalami destabilisasi.”
Elira membeku. “Apa?”
Layar konsol menyala, menunjukkan grafik garis waktu yang runtuh, seperti jaring laba-laba yang robek. Bunker mulai bergetar, dindingnya memudar seperti asap, lampu neon berkedip liar. Elira menatap tangannya, jari-jarinya mulai transparan, seperti kabut yang tersapu angin.
“Apa yang terjadi, Chronos?” teriaknya, suaranya pecah.
“Dengan menghancurkan perangkat Kael, kamu menghapus penemuan teknologi penjelajahan waktu dari sejarah,” kata Chronos, suaranya kini penuh beban. “Termasuk keberadaanmu. Kamu adalah produk paradoks, Elira. Penjaga Waktu Terakhir… yang tidak pernah ada.”
Elira tersentak, mundur hingga punggungnya membentur dinding yang kini mulai larut. Gambar adiknya muncul di benaknya, tertawa di bawah pohon, rambutnya berkibar di angin musim panas. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Adiknya menatapnya, tersenyum, dan berkata, “Kamu berhasil, kak.”
“Berhasil?” bisik Elira, air mata mengalir di pipinya. Dia menatap Kael, yang kini juga mulai memudar, wajahnya penuh penyesalan tapi juga… kelegaan.
“Apa yang kulakukan?”
“Kamu memberi dunia kesempatan baru,” kata Kael, suaranya melemah. “Tanpa penjelajahan waktu, tidak ada paradoks. Tidak ada perang seperti ini. Tapi kamu… kamu tidak akan ada di dunia itu.”
Bunker berderit, langit-langitnya runtuh menjadi partikel cahaya. Elira menutup mata, dadanya penuh dengan campuran amarah, kesedihan, dan sesuatu yang aneh, damai. Dia membayangkan Bumi yang baru, langit yang cerah, anak-anak yang tertawa tanpa takut ledakan. Mungkin adiknya ada di sana, hidup, bahagia.
“Chronos,” bisik Elira, suaranya hampir hilang. “Apa yang akan terjadi padaku?”
AI itu diam sejenak, lalu menjawab, “Kamu akan menjadi kenangan yang tidak pernah ditulis. Tapi dunia akan mengingat pengorbananmu, dengan caranya sendiri.”
Elira tersenyum tipis, air matanya menguap bersama tubuhnya. “Mungkin ini lebih baik.”
Saat bunker lenyap, dan keberadaannya memudar ke dalam kehampaan, langit di atas Bumi, untuk pertama kalinya dalam satu abad, mulai cerah. Di suatu tempat, di garis waktu yang baru, seorang anak kecil menatap matahari terbit, tersenyum tanpa tahu mengapa.
Tamat