Kritik dan Alat Kelamin “Dramaturgi Cilaka” Panji Gozali

Dendi Madiya, Sutradara Teater, Penulis, dan Performer

admin
Gambar 2
Dendi Madiya (Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta)

Membaca tagline di bawah judul naskah ini, saya teringat fenomena hiruk-pikuk suara netizen dalam dunia medsos. Ini sebuah cerita, perkara yang dikritik menutup telinga dan yang mengkritik malah ngelantur. Demikian bunyi tagline tersebut. Dalam berita atau kasus yang viral, seringkali netizen meramaikannya dengan komentar-komentar yang pedas, nyeleneh, mencaci-maki, candaan, hingga ujaran-ujaran yang tidak nyambung dengan inti persoalan yang sedang ditanggapinya. Tetapi tak jarang, pendapat atau kritikan netizen terbilang sangat masuk akal dalam pandangan saya. Mereka turut membuka mata saya untuk melihat sebuah permasalahan dari sudut pandang tertentu. Sasaran yang mereka kritik—katakanlah pejabat seperti gubernur, menteri atau presiden, juga public figure, selebritis—acapkali hanya bisa terdiam dalam menghadapi “serangan” netizen tersebut.

Gambar 1
Diskusi Dramaturgi Cilaka karya Panji Gozali, 18.03.2023 di Toko Gunung Agung Kwitang
Pembicara: Wawa (Astrada Teater Moksa), Irsyar R. (Dosen UNJ), Moh. Shobirienur R. (Budayawan) dan Dendi M. (Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta)

 

Naskah ini dibuat dengan semangat bermain-main, dalam pengertian naskah ini berupaya menghadirkan kejenakaan, kelucuan-kelucuan, melalui beberapa cara. Dimulai dengan penamaan tokoh: Kantal, Kintil, Kuntul dan Kentel. Huruf vokal ‘o’ tidak ikut disertakan karena akan menyebut alat kelamin pria dan barangkali Panji merasa tidak etis untuk menghadirkannya sebagai nama tokoh. Tetapi barangkali pembaca akan tergelitik sebab asosiasi mereka dengan sangat mudah akan melayang ke arah sana.

 

Di tengah kondisi negara kita yang masih penuh dengan persoalan politik, sosial dan budaya, masyarakat barangkali sering mengumpat. Lihat saja dunia medsos. Alat kelamin sering disebut-sebut untuk mengumpat terhadap sesuatu yang mereka kritisi, terhadap sesuatu yang mereka tidak sukai. Mereka menuliskan kata yang merupakan alat kelamin itu sebagai ekspresi kemuakan. Cara Panji mengatasnamakan tokoh dengan panggilan-panggilan yang berasosiasi terhadap alat kelamin seperti menyimpan kemuakan terhadap kondisi politik, sosial dan budaya kita saat ini. Sebagaimana disampaikan oleh salah satu tokoh, “Anggota Dewan yang berjumlah sekian, bolos ra-pat!” Ah, klise. Ini kan sama saja seperti perkumpulan-perkumpulan mahasiswi dan mahasiswa itu dengan segala tetek bengek idealismenya yang mabuk jamu plastik item, sambil teriak-teriak bela rakyat.”

 

Sekarang ini sedang menguak kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh beberapa penulis, aktivis dan seniman idealis yang kerap mengkritik pemerintah. Sebagaimana juga terjadi di lingkugan yang agamis dan dilakukan oleh tokoh agama. Netizen membombardir mereka dengan cacian dan makian lewat Twitter dan Instagram. Masyarakat barangkali cukup tidak menyangka bahwa figur-figur terhormat dan terpandang itu sanggup melakukan tindakan asusila. Netizen membanjiri mereka dengan komentar-komentar yang kurang lebih mengarah pada kesimpulan, “Tak usah kau urus moral orang lain sebelum kau tertibkan alat kelaminmu sendiri!”

 

Gambar 2
Dendi Madiya (Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta)

 

Naskah ini berisi sindiran-sindiran kepada berbagai pihak lewat cara komikal-verbal dan penuh gimmick. Sindiran-sindiran tentang macam-macam kondisi bangsa dan negara itu banyak dilontarkan para tokoh sebagaimana netizen mengoceh dalam medsos. Suasana adegan cukup rileks, tak ada ketetapan dramaturgis sebagaimana naskah well-made play. Seorang pembawa acara bisa keluar-masuk di tengah-tengah adegan tanpa rikuh, mengatur ini dan itu seperti interupsi dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Tingkah laku para tokohnya komikal, cerewet, kerap juga disertai aksi-aksi yang konyol. Tidak begitu penting karakterisasi psikologis dari para tokoh karena Panji tidak sedang menulis naskah drama realis meskipun kritikan-kritikan yang terkandung dalam naskah ini mengacu kepada realita sosial, politik dan budaya kita. Pada beberapa dialog, terasa juga kritikan-kritikan itu dialirkan secara deras dan langsung to the point.

 

Naskah ini berpotensi dipanggungkan secara rileks dan improvisatoris sebagaimana banyak dilakukan teater tradisional kita. Juga tidak perlu berketat-ketat pada setting panggung karena naskah ini berpotensi untuk menghadirkan set secara simbolis. Tantangan permainan bagi para aktor adalah membawakan para tokohnya dengan cara komikal, lentur tetapi tetap tajam dalam mengirimkan dialog yang berisi sindiran.

 

Saya ucapkan selamat untuk Panji Gozali atas karyanya ini. Tak lupa, saya mendorong Panji untuk terus melahirkan naskah-naskah teater berikutnya

Februari 2022

 

 

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *