Siswa SMP Bacok Bocah SD Hingga Tewas: Ini Bukan Kenakalan Remaja!

Kenakalan Remaja
Kenakalan Remaja (Sumber foto: sukabumiupdate.com)

Sungguh tega dan keji itulah dua kata yang mungkin paling tepat disematkan pada tiga pelajar SMP yang tega membacok siswa SD di Palabuhanratu Sukabumi hingga tewas. Akibatnya ketiga pelajar itu kini harus berhadapan dengan hukum karena perbuatannya. Korbannya adalah R (16 tahun yang sebelumnya disebut 12 tahun) adalah siswa SD kelas VI Sirnagalih.

Pada sabtu siang (04/03) sekitar pukul 11.40 WIB ketika R sedang dalam perjalanan pulang bersama adiknya, tiba-tiba sekelompong orang yang tidak dikenal menghampiri dan melakukan penyerangan terhadap dirinya dengan menggunakan senjata tajam tepat didepan SMPN 3 Palabuhanratu.

Sontak saja R yang tak berdaya langsung terkapar karena mendapat luka yang cukup serius dibagian leher pasca mengalami peristiwa nahas tersebut. Warga yang berusaha menolong dan melarikannya ke Rumah Sakit tak bisa berbuat banyak, R pun dinyatakan meninggal dunia selang beberapa jam setelah peristiwa tersebut. Mirisnya R dibacok didepan adiknya sendiri.

Kapolres Sukabumi, AKBP Maruly Pardede dalam Pers Realese didepan para wartawan menjelaskan bagaimana kronologi pembacokan tersebut. Sebelum melancarkan aksinya para pelaku sempat berkumpul di kawasan Pantai Palabuhanratu. Usai berkumpul kemudian mereka berkonvoi dengan tujuan mencari lawan, melihat ada dua orang yang sedang berjalan di depan SMP 3 Palabuhanratu, mereka pun tanpa tedeng aling-aling langsung menyerang salah satu korban.

Setelah berhasil melakukan penangkapan, Polres Sukabumi menetapkan tiga ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum) atau pelaku. Menurut AKBP Maruly, ketiganya mempunyai peran masing-masing yakni ABH 1 sebagai eksekutor, ABH 2 sebagai pembonceng dan ABH 3 sebagai penyedia senjata tajam.

Usut punya usut dalam rekaman video yang diduga pelaku sedang di introgasi dan videonya telah viral beredar di media sosial itu terungkap bahwa motif pelaku melakukan penyerangan tersebut karena salah sasaran. Ia mengira korban adalah siswa SMP 3, namun nyatanya korban ternyata merupakan siswa SD kelas 6 SDN Sirnagalih.

“Salah sasaran Pak suganteh budak SMP tilu” begitu ucap remaja yang diduga pelaku dalam video introgasi yang telah viral di medsos itu.

 

Bukan Sekadar Kenakalan Remaja

Apabila dilihat dari motif pelaku yang melakukan penyerangan pada korban, kita bisa menarik benang merah bahwa ini tidak bisa dipandang sekadar aksi kenakalan remaja, tapi ini sudah masuk pada aksi kriminal lantaran pelaku sengaja mempersiapkan aksi, melakukan konvoi, mencari lawan, mencari sasaran.

Aksinya tidak dilakukan secara spontan, melainkan memang sengaja mencari korban untuk diserang, dilukai. Ini kan sudah bukan lagi kenakalan remaja tapi sudah mengarah pada pemufakatan jahat yang dilakukan oleh para pelaku untuk mencelakai, mencederai bahkan merampas nyawa orang lain.

Ada beberapa faktor yang mendorong para remaja mengapa sampai nekat melakukan aksi-aksi kriminal tersebut. Selain daripada kurangnya kontrol orangtua dan pengaruh lingkungan, biasanya aksi kriminal yang dilakukan karena didasari rasa ingin meng-eksistensikan diri dalam proses pencarian jati diri dimana ada rasa kepuasan dan kebanggan tatkala mereka telah berhasil melakukan aksi-aksi kriminal tersebut.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Aditya Kasandra Putranto, Psikilog Forensik Klinis bahwa usia remaja adalah fase mencari jati diri. Pada tahapan ini seseorang masih labil kondisi jiwanya. Sayangnya, fase pencarian jati diri itu seringkali diimplementasikan dengan tindakan negatif. Bahkan sampai pada tindakan melukai seseorang menggunakan senjata tajam.

“Dalam hal ini kenakalan merupakan suatu usaha untuk memperoleh identitas meskipun dalam bentuk identitas negatif.” terang Aditya sebagaimana dikutip dari Kompas.com

Masa muda memang masa yang penuh gairah dan semangat yang menggebu-gebu. Para remaja seringkali berlomba-lomba menunjukan “eksistensi” karena ingin “diakui” dan “dilihat” sebagai proses pencarian identitas dan jati diri. Namun sedikit remaja yang mampu mengimplementasikan masa mudanya itu pada hal-hal yang positif.

Tawuran, balapan liar, berkelahi, konvoi dijalanan adalah aktivitas yang biasanya dilakukan para pemaja dalam memenuhi tuntutan gairahnya pada masa-masa pencarian jati diri tersebut. Tak sedikit remaja yang melakukan aksi demikian karena hanya ikut-ikutan, atau gengsi karena takut tidak dianggap hebat dan gaul.

Kurangnya pemahaman remaja terhadap konsep moralitas soal apa itu “baik” dan “buruk”, “benar” dan “salah”, “adil”, “bijak” menjadikan para remaja tak mempunyai kontrol diri yang cukup dan berpikir berulang kali tatkala akan melakukan tindakan tertentu. Disinilah pentingnya edukasi dari orangtua dan guru untuk terus mendidik para remaja agar selalu mempertimbangkan apa yang akan mereka perbuat.

 

Hukuman Apa yang Setimpal Bagi Pelaku?

Usai peristiwa pembacokan anak SMP pada anak SD ini terjadi, banyak para netizen yang mempertanyakan apa hukuman yang paling pantas bagi para pelaku yang notabene masih dibawah umur ini? Pantaskan ketiganya dihukum berat? Mengingat keluarga korban juga menginginkan keadilan.

Apabila mengacu pada sistem peradilan pidana anak, undang-undang nomor 11 tahun 2012 menyebutkan bahwa peradilan anak mengutakan sistem diversi. Yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana untuk mencapai keadilan restoratif.

Tapi apabila kemudian proses diversi itu tak bisa dicapai dan tidak kunjung ada kesepakatan antara pihak pelaku dan korban maka proses peradilan anak yang berkonflik dengan hukum akan dilanjutkan.

Dalam UU tersebut diterangkan bahwa terdapat dua jenis hukuman yang akan diterima oleh pelaku. Pertama, (Tindakan) bagi pelaku tindak pidana berumur dibawah 14 tahun dan Kedua, (Pidana) bagi pelaku tindak pidana yang berumur 14 tahun keatas. Anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi pidana penjara jika keadaan dan perbuatannya dianggap meresahkan dan membahayakan masyarakat.

Apabila dilihat dari kasusnya jelas pelaku yang masih dibawah umur ini cukup meresahkan dan membahyakan masyarakat karena terbukti merencanakan penyerangan sejak awal sambil membawa bendera salahsatu geng motor.

Namun karena statusnya yang masih dibawah umur, mereka pun tidak bisa dipidana lebih berat daripada seharusnya karena dilindungi oleh undang-undang tentang perlindungan anak. Para pelaku dijerat pasal 80 ayat 3 undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Mereka terancam pidana penjara selama 15 tahun.

Dengan adanya kejadian ini perlukah pemerintah merevisi undang-undang tentang sistem peradilan anak? Kita tunggu saja semoga kasus-kasus kriminal dan pidana yang melibatkan anak bisa mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga proses hukum pada pelaku tidak lagi bias dan memenuhi rasa keadilan korban dan juga bisa memberikan efek jera pada pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *