Opini  

Revolusi Pendidikan: Membahas Kembali Peran Sekolah di Era Digital

iim maya sofa
Revolusi Pendidikan: Membahas Kembali Peran Sekolah di Era Digital

Di era digital seperti sekarang, akses informasi, pembelajaran dan segala hal yang diajarkan di sekolah sangat mudah di dapat tanpa harus sekolah. Lalu, apa peran sekolah di era digital seperti saat ini? Bahkah, dengan memanfaatkan kecerdasan era digital, kita tidak perlu membutuhkan guru, ruang kelas dan kurikulum untuk memahami suatu teori.

Itu adalah salah satu opini-opini dari beberapa konten kreator yang menurut saya, perlu dibahas lebih lanjut. Karena, banyak yang memotong bagian-bagian tertentu dari video yang dirasa menguntungkan sepihak. Selain itu, memang pada kenyataannya, peran sekolah semakin diragukan oleh generasi muda dalam menyikapi jalan kesuksesan menurut mereka.

Revolusi Pendidikan: Membahas Kembali Peran Sekolah di Era Digital

Kehadiran teknologi digital telah mengubah lanskap pendidikan secara mendalam, memicu perubahan dalam paradigma pengajaran dan pembelajaran. Sekolah, sebagai lembaga inti dalam menyampaikan pengetahuan dan membentuk karakter generasi muda, kini dihadapkan pada tuntutan untuk terus beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Dalam era digital yang terus berkembang, pertanyaan mendasar muncul: apakah peran sekolah masih relevan, atau apakah perlu dilakukan kembali pemikiran tentang esensi pendidikan?

Fakta ‘Pentingnya Sekolah’ dan ‘Yang Penting Sekolah’

‘Pentingnya sekolah’ dengan ‘yang penting sekolah’ merupakan dua fakta yang tumbuh di masyarakat kita. Tidak sedikit ada yang berpikir bahwa sekolah penting karena sebagai format nilai kasta di dalam kehidupan bermasyarakat.

Jadi, masih banyak yang benar-benar merasa sekolah adalah bukan komponen penting dalam membentuk diri. Artinya, ini hanya akan berakhir menjadi fakta ‘yang penting sekolah’. Pola pikir seperti inilah yang menjadikan sistem pendidikan tidak pernah benar-benar berhasil diterapkan.

Fakta sistem pendidikan di Indonesia

Sebagai siswa tamatan sekolah negeri, yang benar-benar merasakan bagaimana sistem pembelajaran dan kurikulum resmi negara, membuat saya pribadi gagal mengenali potensi dalam diri saya.

Selama sekolah, banyak pelajaran yang harus saya ikuti dan harus memenuhi standar nilai kelulusan di semua mata pelajaran. Tekanan untuk harus menghafal rumus yang sebenarnya saya tidak tahu itu untuk apa.

Jadi, kalau menurut saya pribadi, saya tidak pernah benar-benar diberi tahu apa tujuan saya mempelajari hal tersebut dan apa fungsinya di kehidupan nyata bagi saya. Sistem wajib 12 tahun sekolah, menjadikan saya sebagai manusia gineral dan sampai lulus SMA, saya tidak tahu minat, bakat dan arah tujuan saya mau seperti apa.

Maka, bagi saya 12 tahun telah saya habiskan hanya untuk menghafal rumus matematika yang tidak berkontribusi apa-apa dalam kehidupan saya yang sekarang berprofesi sebagai penulis dan ilustrator. Saya menghabiskan 12 tahun untuk mempelajari anatomi katak sampai kadal, yang saya rasa dalam kehidupan nyata saya tidak begitu membutuhkan pengetahuan tentang isi perut kadal. 

Para siswa berusaha untuk memenuhi kriteria kriteria yang berubah-ubah. Bahkan ini menjadi tantangan para pengajar untuk memahami kurikulum yang mengalami perubahan setiap periode menteri pendidikannya. Saya rasa, pengajar dan pelajar tidak begitu paham betul eksistensi dari apa yang diajarkan dan apa yang dipelajari. 

Apa penyebab keraguan untuk tetap sekolah?

Sistem pendidikan seperti ini hanya akan berakhir sebagai format memenuhi standar program pemerintah. Sekaligus untuk menampilkan upaya peduli terhadap pendidikan di Indonesia. Dari fakta kurikulum dan sistem pendidikan seperti ini, wajar ketika muncul sebuah argumen “apakah sekolah masih penting di era digital saat ini?”

Karena, memang sekolah hanya mempelajari sebuah teori umum, yang mana era digital dapat menyediakan semua informasi yang mudah diakses kapan pun dan bahkan bisa dipelajari secara pribadi sesuai minat dan bakat. 

Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam membahas ulang peran sekolah adalah bagaimana kemampuan untuk menyesuaikan kurikulum dengan tuntutan zaman. Revolusi industri ke-4 menyoroti kebutuhan akan keterampilan baru, seperti literasi digital, pemecahan masalah kompleks, dan kreativitas.

Sekolah harus memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa kurikulumnya tidak hanya mencakup materi pelajaran konvensional, tetapi juga mengintegrasikan elemen-elemen baru yang diperlukan untuk membekali siswa dengan keterampilan yang relevan di era digital.

Masalah baru di era digital

Era digital membuka pintu bagi pendidikan inklusif, memungkinkan akses ke pengetahuan tanpa batas geografis. Namun, tantangan baru juga muncul seiring dengan ketidaksetaraan aksesibilitas digital.

Dalam pembahasan peran sekolah, penting untuk mengatasi disparitas ini dan memastikan bahwa semua siswa, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi, dapat mengambil manfaat dari kemajuan teknologi dalam pembelajaran.

Faktanya, masih banyak wilayah di Indonesia yang masih kekurangan akses lancar internet, kemampuan melek digital dari masyarakatnya, dan berbagai latar belakang lainnya.

Artinya, jika menganggap bahwa sekolah tidak penting di era digital ini, mungkin akan masuk akal bagi kalangan orang yang sudah mendapatkan akses digitalisasi yang mudah. Namun, bagaimana nasib masyarakat yang masih belum bisa menjangkau digitalisasi? 

Lalu, ini PR untuk siapa? 

Ini menjadi dilema kita semua, terutama oleh negara. Negara akan dianggap serba salah jika bersinggungan dengan konteks pendidikan yang tidak maju. Hal ini disebabkan, kebijakan pemerintah tentang perubahan iklim yang dirasa membingungkan bagi para pengajar dan pelajar. 

Namun, perubahan kurikulum pendidikan tidak semata-mata sekedar diubah. Pemerintah sedang berupaya menerapkan sistem pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman. Misalnya saja, kurikulum merdeka. 

Kemudian, pemerintah juga dihadapkan pada dilema terkait era digital yang mana kita semua tahu bahwa tidak semua wilayah Indonesia bisa mendapatkan fasilitas tersebut. Sehingga, justru menciptakan perbedaan antar sekolah.

Sedangkan pemerintah menganggap wajar perbedaan kurikulum ini, dengan alasan memang menyesuaikan dengan kemampuan lembaga sekolah. Tetapi, ini adalah bomerang bagi pemerintah karena pada akhirnya akan tidak adanya sistem pendidikan.  

Revolusi pendidikan tidak hanya tanggung jawab sekolah semata. Keterlibatan orang tua dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait menjadi kunci keberhasilan. Maka perlu adanya kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat guna memperkuat efek positif dari revolusi pendidikan di era digital.

Kesimpulan

Menyikapi fakta yang sudah saya paparkan sebelumnya, di antaranya yaitu:

  1. Pola pikir masyarakat yang menganggap sekolah adalah format untuk menaikkan strata sosial
  2. Kurikulum yang tidak menjawab perkembangan zaman
  3. Sistem belajar yang tidak menarik bagi siswa
  4. Digitalisasi yang belum merata

Sehingga timbul pendapat bahwa, sekolah sudah tidak penting di era digital saat ini karena aspek-aspek tersebut. Namun, menurut saya pribadi bahwa sekolah masih dianggap penting. Sebab, jika membangun stigma sekolah tidak penting akan menjadikan generasi baru meremehkan pendidikan. 

Sedangkan yang harus diperbaiki adalah sistem kurikulumnya yang seharusnya lebih memberikan pembelajaran yang menjurus sesuai minat dan bakat siswa. Dengan demikian, siswa yang berminat pada bidang seni tidak akan menghafalkan rumus matematika. 

Artinya, digitalisasi tidak bisa menjawab sepenuhnya kebutuhan para siswa. Sebagai jalan tengahnya yaitu membekali siswa dengan kemampuan untuk memanfaatkan era digital sebaik mungkin untuk mengembangkan bakat mereka.  

Selain itu, bukan hanya peran pemerintah dan lembaga pendidikan saja. Melainkan peran kita semua, orang tua dan khususnya bagi semua kalangan yang terdidik untuk saling mendukung menghasilkan SDM yang lebih cerdas dan mumpuni ke depannya.

Sebagai penutup yang tepat, akan saya kutip sebuah kalimat yang membuat saya sadar bahwa sampai kapan pun sekolah berperan penting untuk kemajuan SDM. Dan yang perlu diperbaiki adalah sistem pendidikannya agar lebih sesuai dengan kebutuhan zaman. 

“dua miliar orang yang gak sekolah, berapa orang yang seperti Steve Job. Terus, dari jutaan orang yang jadi direktur berapa yang tidak sekolah?, Jadi tugasmu sekolah bukan untuk jadi apa-apa, tapi memperbesar kemungkinan kamu hidup layak” -Ryuhasan

Sumber:

Kemendikbud.go.id 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *