Kasus bullying dan kekerasan di kalangan remaja akhir-akhir ini semakin banyak terbongkar. Dalam kurun waktu satu bulan saja, kita sudah melihat tiga kasus miris seperti kasus Jenaedi, kasus bullying dalam BINUS, dan penindasan bocah SMP di Cilacap. Mirisnya, kesamaan kasus yang sudah berbau kriminal terletak pada pelakunya. Kesemuanya merupakan anak-anak di bawah umur alias remaja.
Sulit rasanya memercayai bahwa tindakan-tindakan yang telah kita lihat dalam berita, ternyata dilakukan oleh anak-anak. Bagaimana ceritanya muda-mudi kita memiliki mentalitas yang keji dan tidak beperilaku sebagaimana generasi yang terdidik? Belum lagi mengingat bahwa sangat mungkin maraknya berita bullying ini bukan disebabkan oleh meningkatnya jumlah bullying, tetapi kemajuan teknologi yang membantu korban dan saksi mengangkat kasus bullying ke mata publik.
Bisa jadi kasus bullying memang sudah sejak lama tinggi di kalangan remaja, dan baru sekarang lebih banyak dibongkar. Hal tersebut saya simpulkan sebagai seseorang yang pernah menjadi korban bullying di masa-masa sekolah. Mungkin pembaca pun pernah mendengar, melihat, bahkan mengalami kejadian serupa secara langsung.
Penindasan sudah bukan hal yang baru lagi di Indonesia. Mungkin karena itu orang-orang dewasa sudah malas dan setengah-setengah dalam menanggapinya. Ironisnya kita justru kaget dengan kebusukan moral anak muda masa kini. Padahal kita lah yang membiarkannya mengakar, berbunga, dan berbuah dalam pergaulan muda-mudi. Sudah berapa lama kita mengabaikan kekerasan yang berkembang dalam diri generasi muda Indonesia?
JUMLAH KASUS KEKERASAN OLEH REMAJA SAAT INI
Per tahun 2023 ini, sedikitnya ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, dengan 134 pelaku, 339 korban, dan 19 korban di antaranya meninggal. Kebanyakan dari kasus ini adalah perundungan dan kekerasan seksual. Sangat ironis mengingat kasus-kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk memperoleh ilmu. Tidak dinyana, tempat pendidikan justru menjadi akhir hidup bagi beberapa korban perundungan.
Saya mengingat salah satu dari kasus itu adalah kematian seorang anak SD yang dirundung dan dipaksa berhubungan badan dengan kucing pada tahun 2022. Sang anak mengalami trauma dan depresi hingga berujung sakit dan kehilangan nyawanya. Tentunya tidak akan ada yang mengira anak-anak di bawah umur yang seharusnya menuntut ilmu di sekolah, menjadi korban dan pelaku dari kejadian sekeji itu.
Indikator lain yang bisa saya ambil adalah fakta bahwa per tahun 2023, sekitar 2000 anak tercatat berkonflik dengan hukum. Sekitar 1467 anak masih dalam proses peradilan, sedangkan 500 di antaranya sudah menjadi narapidana. Sangat mungkin pada rentang tahun ini, terjadi penambahan angka pada jumlah anak-anak pelaku kekerasan di Indonesia yang pada rentang tahun 2016-2020 mencapai 655 anak. Sudah cukup gawat bukan?
Siapa yang bertanggung jawab atas meningkatnya angka-angka ini?
KITA SEMUA SALAH!
Selama ini kita banyak menyalahkan media seperti anime dan drama yang banyak menayangkan adegan kekerasan yang dilakukan oleh katakter-karakter remaja. Padahal tugas mendidik anak bukanlah tanggung jawab komisi penayangan semata, tetapi orang-orang yang terlibat dalam lingkungannya. Tentu saja, ada banyak catatan yang harus dilakukan masyarakat Indonesia untuk memperbaiki peilaku generasi muda Indonesia.
Pengembangan moral dan pengawasan orang tua sebagai pencegah kekerasan remaja.
“Kalau nggak siap punya anak, ya jangan punya anak”. Mungkin kalimat tersebut terkesan kasar dan cenderung menyinggung perasaan banyak orang tua, tetapi sayangnya, kalimat ini sangat telak menyindir pengasuhan orang tua yang masih setengah-setengah. Pasalnya, membesarkan anak tidak hanya dilihat pemenuhan material dan finansial, ataupun pembentukan kognitif dan motorik dasar. Orang tua juga memiliki kewajiban untuk menumbuhkan moral anak.
Sayangnya kita banyak melihat karena kesibukan orang tua, anak biasanya dititipkan pada pengasuh atau daycare. Terkadang juga tanggung jawab mendidik sepenuhnya dijatuhkan kepada guru. Padahal orangtua adalah agen sosialisasi paling utama bagi anak. Terlebih lagi, anak-anak usia prasekolah (4-5 tahun) mulai mengembangkan gagasan mereka sendiri tentang benar dan salah berdasarkan apa yang mereka pelajari dalam keluarga.
Orang tua harus menanamkan pemahaman moral dan sikap-sikap yang baik dari anak sejak usia dini, hingga masanya menuju kedewasaan. Bimbingan orang tua pada anak tidak hanya sampai pada usia kanak-kanak saja, tetapi senantiasa mendampingi pertumbuhannya, terlebih lagi ketika anak memasuki usia remaja dan berusaha mencai jati dirinya.
Ingat, peran pengasuhan ini tidak hanya terpusat pada peran ibu, tetapi juga peran ayah. Jangan sampai pesan ini justru dijadikan alasan untuk memaksa perempuan untuk hanya menjadi ibu rumah tangga saja dalam keluarga. Keluarga dapat bekerja sama dan mencari jalan tengah untuk senantiasa hadir dalam kehidupan putra-putrinya meskipun menjalani profesi masing-masing
Tindakan tegas dan keras guru dalam menindak kekerasan remaja
Kenapa kasus kekerasan atau perundungan remaja marak di sekolah? Karena respon yang diberikan guru terkait perilaku perundungan sangatlah lemah. Dalam pengalaman pribadi pun, saya juga hanya melihat pelaku hanya disuruh meminta maaf kepada saya. Tetapi ketika guru sudah berbalik badan, perundungan kembali berlanjut. Melapor pada guru seakan tidak ada gunanya hingga terlambat.
Dalam sekolah, guru merupakan pendidik utama kedua bagi murid. Guru juga memiliki tanggung jawab untuk membentuk lingkungan yang kondusif bagi murid-murid untuk belajar, ini juga termasuk perlindungan murid dari segala jenis perundungan. Pengawasan murid baik di jam pelajaran maupun jam istirahat perlu diperketat. Guru juga perlu menunjukkan sikap yang lebih tegas dan represif terhadap aksi perundungan.
Memang hal tersebut tidak mudah, karena guru pada zaman ini ditempatkan dalam posisi yang serba salah. Banyak pelaku perundungan atau pelanggaran yang justru balik melapor pada orang tua, sehingga malah menjadi bumerang bagi guru. Maka dari itu untuk melancarkan fungsi pengawasan dan perlindungan dari guru diperlukan dukungan dari pihak berikutnya.
Sekolah harus proaktif.
Banyaknya kasus perundungan yang terjadi di sekolah menunjukkan bahwa sekolah perlu lebih proaktif dalam menanamkan nilai-nilai moral pada murid-muridnya. Baik dengan implementasi nilai moral dalam kurikulum dan konseling, maupun menindak tegas pelaku kekerasan terhadap warga sekolah.
Jangan memberi kesempatan pelaku untuk dapat berjalan keluar dari kasus tanpa adanya konsekuensi yang berarti. Tindaklah kasus perundungan layaknya kasus kriminal sehingga berujung pada pengeluaran siswa yang bertanggung jawab atas perundungan tersebut. Berilah pengertian bahwa tindakan perundungan akan merusak tidak hanya masa depan korban, tetapi juga pelaku yang bersangkutan.
Sekolah juga perlu membangun mental kolektif dalam diri murid-muridnya untuk berani bersuara terhadap kekerasan serta menjaga satu sama lain. Jadikanlah sekolah sebagai ruang aman untuk anak, baik dari ancaman luar maupun di dalam sekolah itu sendiri. Bila perlu, hapus kegiatan-kegiatan yang berpotensi menjadi sarang perundungan, misalnya masa orientasi siswa/pengenalan lingkungan sekolah oleh kakak kelas dan jurit malam.
Pemberian media yang berkualitas kepada generasi muda.
Tentu saja peran pengawasan jatuh pada agen-agen sosialisai terdekat seorang anak. Tapi tidak berarti media seperti stasiun-stasiun televisi dan komisi penyiaran lepas tangan dari hal tersebut. Media sangat berpengaruh dalam membentuk perspektif individu, terutama anak dan remaja yang masih sangat mudah untuk mencontoh apa yang mereka lihat. Maka dari itu penting untuk menayangkan tontonan-tontonan yang mendidik.
Sayangnya, media televisi pun saat ini lebih berfokus mencari keuntungan, menampilkan tontonan dan figur yang viral semata alih-alih menyeleksi tayangan yang baik untuk berbagai kelas usia. Kita banyak menyalahkan sosial media dan permainan yang banyak menampilkan adegan kekerasan, tetapi sinetron-sinetron dan acara entertainment yang ditayangkan pertelevisian Indonesia juga masih banyak menunjukkan nilai-nilai moral yang kurang baik. Jangan salahkan generasi muda yang lebih banyak berpaling ke gadget bila pertelevisian kita masih belum dapat menayangkan tontonan yang berkualitas.
KESIMPULAN
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan “it takes a village to raise a kid”. Artinya untuk mengasuh seorang anak, diperlukan kontribusi dari satu desa. Untuk memastikan peningkatan moral anak dan mencegah terjadinya hal-hal buruk sepert kasus-kasus sebelumnya, diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai pihak. Jangan hanya menyalahkan pelaku, atau bahkan korban, tetapi lihat kepada kita yang belum berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
REFERENSI
https://www.kompas.id/baca/riset/2023/08/28/meningkatnya-kasus-anak-berkonflik-hukum-alarm-bagi-masyarakat-dan-negara
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/16/terjadi-136-kasus-kekerasan-di-sekolah-sepanjang-2023
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/29/ini-jumlah-anak-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-di-indonesia
https://www.first5la.org/article/ages-and-stages-learning-right-from-wrong/