Pernahkah kalian mendengar istilah Kapitayan (ꦏꦥꦶꦠꦪꦤ꧀). Kapitayan merupakan sebuah kepercayaan yang jauh ada sebelum Hindu dan Budha di Indonesia. Kepercayaan Kapitayan ini dikenal dengan kepercayaan leluhur, atau nenek moyang yang mengimani bahwa tuhan itu hanya ada satu (Esa).
Kepercayaan ini berkembang di wilayah Jawa khususnya. Terutama bagi mereka yang beretnis Jawa sejak era paleolitik, mesolitik, neolitik dan megalit. Jadi dulu, ketika mereka ditanya apa agama kalian? mereka akan menjawab agama mereka adalah agama nenek moyang, agama kuno Jawa, agama asli Jawa, atau agama monoteis Jawa.
Mengapa kalian perlu mengetahui ini? pengetahuan tentang terdahulu kita, atau nenek moyang kita itu merupakan sebuah kewajiban bagi generasi muda. Jadi tidak hanya menyuarakan untuk mengenal diri sendiri saja, tetapi dengan mengetahui era nenek moyang kita, kita jadi tahu struktur silsilah kita.
Begitulah kira-kira tujuan saya menuliskan opini tentang Kapitayan.
Bagaimana ajaran Kapitayan?
Setelah kita mengetahui selayang pandang tentang apa itu Kapitayan, selanjutnya kita perlu mengetahui ajaran dan kepercayaan agama Kapitayan ini yang akhirnya saya sebut Jawa telah Islam sebelum Islam masuk.
Dalam Kapitayan, mereka penganut monoteis, kepercayaan bahwa tuhan hanya ada satu, tunggal. Inilah yang membedakan dengan Kejawen, Hindu, dan Budha. Karena, Kejawen bersifat nonmonoteis (mempercayai lebih dari satu tuhan).
Selain itu, jika kita lihat dari namanya saja, Kapitayan bersalah dari istilah “Taya” yang berarti tak terlihat. Atau bisa juga berarti mutlak secara harfiah. Jika secara harfiah dalam bahasa Sunda, ‘Taya’ memiliki arti tidak ada, berarti bisa disimpulkan seperti sesuatu yang tidak bisa digapai oleh pikiran manusia, tidak bisa kita lihat, dan tidak bisa digapai oleh panca indra duniawi manusia.
Media berdoa yang digunakan oleh para penganut Kapitayan seperti segala sesuatu yang mengandung unsur ‘tu’. Seperti misalnya Tu-mpeng (sesaji), tu-gu (munumen), tu-ak (arak), dan masih banyak lagi lainnya. Nah media inilah yang dijadikan berdoa untuk meminta kebaikan.
Jika ada media yang digunakan berdoa, maka penganut Kapitayan juga memiliki tempat yang dianggap sakral seperti pohon beringin, gapura, batu, atau tempat yang bertangga tinggi. Tempat-tempat sakral ini tidak dianggap sebagai tuhan bagi mereka, tetapi mereka menganggap bahwa tempat-tempat seperti itulah yang mewujudkan sifat tuhan.
Artinya, kepercayaan Kapitayan ini tidaklah menyembah batu, beringin, tempat yang tinggi, atau yang lainnya. Mereka hanya menganggap itu sebagai tempat ibadah. Kemudian, untuk barang-barang yang mengandung unsur ‘tu’ itu dijadikan mereka sebagai media meminta doa kebaikan kepada Sanghyang Taya.
Apa persamaannya dengan Islam?
Sanghyang Taya, merupakan sebutan tuhan bagi mereka. Tuhan bagi mereka tidak terlihat dan tidak bisa digapai oleh mata duniawi manusia. Dalam kepercayaan Kapitayan, tuhan itu tidak bisa dilihat, jika bisa dilihat maka bukan tuhan.
Maka kepercayaan ini selaras dengan surah al-An’am ayat 103, yang berarti: “Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu”. Bagi Islam, umat manusia jika selama di dunia, tidak akan bisa melihat wujud tuhan.
Tuhan hanya bisa dilihat oleh penghuni surga, karena surga adalah tempat kenikmatan, yang mana kenikmatan yang sesungguhnya adalah bisa berjumpa dan melihat Allah SWT. Maka esensi inilah yang menjadi salah satu unsur kesamaan dengan Agama Islam.
Kemudian, tentang media beribadah. Dalam Islam kita mengenal beberapa tempat dan meyakini tempat tersebut menjadi tempat yang sakral dan suci bagi umat Islam. Seperti Ka’bah, Mekah, atau bahkan masjid. Nah artinya, Islam juga mempercayai bahwa ada tempat atau wilayah yang dianggap suci oleh umat Islam.
Untuk media berdoa, dalam Islam juga mengenal seperti tasbih, kitab suci, dan atribut keagamaan lainnya. Dan atribut itulah yang dianggap umat Islam sebagai media berdoa meminta kebaikan kepada ALlah SWT. Itulah yang menjadi salah satu kesamaan Kapitayan dengan agama Islam.
Apa bisa disebut dengan Islam?
Mungkin sejak awal saya menjelaskan persamaan dari keduanya yang mungkin akan menggiring opini bahwa kepercayaan Kapitayan sama seperti agama Islam. Namun, ternyata tetap ada sebuah perbedaan yang menonjol. Seperti adat kebiasaan kepercayaan Kapitayan yang sedikit menyimpang dari norma agama Islam.
Kebiasaan yang menyimpang contohnya adalah penggunaan arak dalam beribadah, budaya-budaya yang masih menganut kebebasan dalam bergaul, dan budaya yang tidak memberi batasan yang jelas terhadap laki-laki dan perempuan bagaimana seharusnya mereka bersikap.
Nah, dalam agama Islam semua hal tersebut dilarang karena memang jika dikaji lebih lanjut, kegiatan dan budaya seperti itu akan mendatangkan keburukan di kemudian harinya. Artinya, Islam telah mengatur umatnya, atau penganutnya jauh lebih ketat dibanding kepercayaan Kapitayan.
Kemudian, mungkin Kapitayan dengan Islam memiliki cara pandang yang sama terhadap tuhan yang Esa. Namun hal tersebut tidak serta merta bisa dikatakan bahwa Kapitayan mempercayai tuhan yang sama dengan yang diimani oleh penganut agama Islam.
Refleksi budaya
Adanya Kapitayan sebagai kepercayaan di Jawa, membuktikan bahwa para nenek moyang telah mencoba berterima kasih kepada sang penciptanya. Namun, mereka yang terdahulu wajar jika memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan rasa syukurnya.
Justru dengan perbedaan cara ekspresi rasa syukur inilah yang menjadikan budaya kita semakin berwarna dan beragam. Seperti Hindu, Budha dan agama-agama lainnya sebelum datangnya Islam, merupakan kepercayaan leluhur yang sudah semestinya kita hormati keberadaannya.
Selain menghormati keberadaannya, kita juga perlu mengakui kontribusi budaya terdahulu yang bisa menciptakan Islam khas Indonesia. Tanpa menghilangkan norma budaya, juga tanpa melanggar norma agama. Bukankah ini perpaduan yang unik?
Kesimpulan
Kesimpulannya, Kapitayan maupun agama Islam sama-sama memiliki kepercayaan bahwa tuhan itu hanya satu. Keduanya hanya membuat tempat yang suci dan layak untuk ibadah guna berdoa dan meminta kebaikan kepada sang pencipta.
Namun, dari persamaan tersebut keduanya tidak bisa dikatakan sebagai agama yang sama atau satu agama. Kapitayan dan Islam memiliki perbedaan yang mendasar tentang aturan yang diberikan kepada penganut masing-masing kepercayaan.
Tetapi dari keduanya juga memiliki tujuan yang sama, yaitu rasa syukur kepada sang pencipta yang telah memberikan kehidupan yang baik kepada umat manusia. Dari keduanya kita belajar bahwa perbedaan bukan berarti ajang menciptakan permusuhan.
Perbedaan akan menjadi harmoni yang cantik jika membaur dengan baik tanpa harus menghilangkan sepenuhnya dari salah satu kepercayaan. Mungkin pandangan ini akan menjadi kontradiktif untuk sebagian golongan, tetapi saya pribadi sangat menghargai sebagai umat Islam yang masih melestarikan budaya leluhur terdahulu.
Budaya yang beragam tentu ada yang cocok untuk tetap kita lestarikan tanpa harus melanggar norma agama. Bagi saya, selagi budaya tersebut tidak melanggar norma agama, maka sah-sah saja untuk tetap dilestarikan. Karena, saya Islam dan saya tinggal di Indonesia.
Sekian artikel tentang Kapitayan dari saya, semoga informasi ini dapat menambah pengetahuan kita semua. Sampai jumpa di artikel selanjutnya.
Sumber:
Youtube: Jazirah Ilmu